Connect with us

Gadget

Akhir Drama ZTE Kontra Pemerintah Amerika

Published

on

ZTE Corporation diam-diam menjalin kerja sama dengan Telecommunication Company of Iran (TCI) yang membuat Paman Sam meradang. Perusahaan teknologi asal China itu pun didenda hingga US$1,1 miliar dan harus mengganti semua jajaran eksekutifnya.

 

Oleh Philips C. Rubin (Amerika Serikat), Zhang Ju (China), dan Fransisco Redo (Spanyol) • Foto-Foto: ZTE Corporation

Di antara begitu banyak agenda yang ada di pagelaran Mobile World Congress, Barcelona, Spanyol, 1 Maret lalu, CEO ZTE Corporation Zhao Xianming menandatangani kesepakatan kerja sama dengan CEO Turkcell Kaan Terzioglu. Kerja sama kedua perusahaan bukanlah hal baru karena sudah terjalin sejak beberapa tahun terakhir, salah satunya pemasaran ponsel.

 

Advertisement

“ZTE mengakui sejumlah kekeliruan yang diperbuat, bertanggung jawab atas hal-hal itu, dan tetap berkomitmen menghadirkan perubahan positif dalam perusahaan.”

 

Kali ini, di samping memperkuat kerja sama sebelumnya, mereka sepakat merambah ke bidang lain. Bidang-bidang yang akan mereka garap di antaranya pembangunan jaringan pasif Gigabit-capable Passive Optical Networks (GPON), Dense Wavelenght Division Multiplexing (DWDM), dan teknologi 5G. “ZTE merupakan salah satu penyedia peralatan telekomunikasi peringkat atas. Dengan ZTE, kami percaya akan dapat menawarkan teknologi canggih dan tingkat pengalaman yang lebih baik bagi pelanggan,” ujar Kaan saat itu.

Sebagai penyedia teknologi mobile M-ICT terkemuka global, Zhao menyatakan, ZTE berkomitmen membangun ekosistem industri berdasarkan kolaborasi terbuka. Merujuk pada kesepakatan, ZTE akan terus memberikan layanan dan solusi yang terbaik untuk Turkcell dan mendukung pembangunannya di pasar. Langkah itu sekaligus untuk mendukung visi Turki 2023 yang industri teknologi informasi dan komunikasinya diharapkan berkontribusi sebesar 8% dari produk domestik bruto.

 

Baca Juga: Manuver Cantik Astra Graphia

 

Advertisement

Tentu saja perpanjangan kerja sama itu membuat Zhao sumringah. Walau, di tengah kesumringahan itu, rupanya Zhao juga sedang memikirkan perkara perusahaannya di Amerika Serikat (AS). ZTE, singkatan dari Zhong Xing Telecommunication Equipment Company Limited, pemasok berbagai produk sistem telekomunikasi canggih, perangkat seluler, dan solusi teknologi untuk keperluan bisnis (enterprise technology) yang berdiri pada 1985 di Shenzen, Guangdong, China, terjerat kasus pembatasan ekspor di Negeri Paman Sam. 

ZTE, yang telah menjadi perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Negeri Tirai Bambu, memasok produknya ke lebih dari 500 operator di 160 negara. Perusahaan itu masuk ke AS pada 1998 dan mendirikan kantor pusat untuk wilayah tersebut di Dallas, Texas. Dalam perjalanannya, ZTE tersandung kasus pembatasan ekspor dan mendapatkan sanksi dari pemerintah adidaya. ZTE diduga melanggar ketentuan perdagangan yang melarang siapa pun mengekspor produk buatan AS ke negara-negara larangan mereka, tak terkecuali ke Telecommunication Company of Iran (TCI), operator telekomunikasi Iran.

CHAIRMAN DAN PRESIDEN ZTE CORPORATION ZHAO XIANMING

ZTE diduga memasok produk ke TCI yang sebagian komponennya berasal dari AS seperti buatan Microsoft, HP, Oracle, Cisco, Dell, Juniper, dan Symantec. Kantor berita Reuters menyebutkan bahwa kontrak ZTE dengan TCI, yang mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah Iran, itu bernilai US$130.600.000 dan ditandatangani pada Desember 2010. Itu salah satu penyebab pemerintah AS meradang. Padahal, China memang mitra dagang utama Iran dengan transaksi sebesar US$45 miliar pada 2011.

 

“Kami bertekad menghadirkan ZTE yang baru, patuh terhadap aturan, sehat dan terpercaya.”

 

Advertisement

Akan tetapi, pada 7 Maret, tepat seminggu setelah ZTE sepakat memperpanjang kerja sama dengan Turkcell, kabar baik itu datang. Pemerintah AS sepakat menyelesaikan masalah tersebut. Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri (The Office of Foreign Assets Control) Departemen Keuangan AS (US Department of The Treasury) yang bertugas memberlakukan sanksi ekonomi dan perdagangan berdasarkan kebijakan luar negeri AS sepakat menghentikan sanksi sejak itu.

Ternyata itu saja tidak cukup. ZTE masih harus mendapat restu dari Departemen Kehakiman (Department of Justice) berdasarkan persetujuan dari Pengadilan Distrik AS bagian Utara (US District Court for The Nothern District of Texas). Persetujuan pihak pengadilan atas kesepakatan dengan Departemen Kehakiman menjadi prasyarat sebelum Biro Keamanan Industri (The Bureau of Industry and Security) di bawah Departemen Perdagangan (US Department of Commerce) menerbitkan putusan penyelesaian hukum (Settlement Order).

 

Baca Juga: Masa Depan Teknologi Dunia Tergambar di Nevada

 

Pemerintah AS melunak setelah ZTE mengakui kesalahannya dan melakukan tindakan-tindakan perbaikan yang nyata. Tiga eksekutifnya langsung mengundurkan diri—ada pula yang menyebut mereka dipecat. Mereka yang mundur pada April 2016, beberapa saat setelah sanksi diberlakukan, antara lain Presiden dan Direktur Eksekutif Shi Lirong, Executive Vice President (EVP) Tian Wenguo, dan EVP Wiu Weizhao.

Advertisement

Shi termasuk orang lama di ZTE dengan karier cukup gemilang. Pria berusia 47 tahun itu menjabat Vice President Zhongxingxin Telecommunication Equipment Company Limited, induk dari ZTE Corporation, sejak 1993-1997. Pada 1999-Maret 2010, lulusan Master Teknik Sistem Telekomunikasi dan Elektronik dari Tsinghua University itu menjabat EVP ZTE yang bertanggung jawab mengelola penjualan dan pengembangan usaha perusahaan. Lalu, pada Maret 2010 Shi didaulat menjadi Presiden dan Direktur Eksekutif ZTE hingga harus mundur karena kasus perdagangan tersebut.

“ZTE mengakui sejumlah kekeliruan yang diperbuat, bertanggung jawab atas hal-hal itu, dan tetap berkomitmen menghadirkan perubahan positif dalam perusahaan,” kata Zhao, chief technology officer yang dipercaya menggantikan Shi menjadi Chairman dan Direktur Eksekutif ZTE, di Shenzen, Selasa (7/3). “Upaya menerapkan berbagai prosedur baru yang berpusat pada kepatuhan terhadap aturan dan mengganti sejumlah pejabat perusahaan telah menjadi prioritas penting bagi perusahaan.”

Sebagai orang baru yang bertanggung jawab atas kelangsungan bisnis perusahaan, Zhao secara terang-terangan mengatakan akan mengambil hikmah dari pengalaman itu dan meneruskan kiprah untuk menjadi panutan bagi kepatuhan terhadap aturan ekspor dan keunggulan manajemen. “Kami bertekad menghadirkan ZTE yang baru, patuh terhadap aturan, sehat dan terpercaya,” katanya.

Untuk melahirkan ZTE yang baru, Zhao bertekad meningkatkan prosedur kerja dan pengendalian serta terus menghadirkan budaya kepatuhan terhadap aturan di seluruh organisasi. Beberapa bulan terakhir, perusahaan yang didirikan Hou Weigui itu berinvestasi pada upaya reformasi guna menghadirkan program kepatuhan terhadap aturan ekspor. Upaya itu termasuk: Pertama, merombak seluruh pemimpin perusahaan secara besar-besaran.

 

Baca Juga: Acer Switch 1, Noteblet Gaya Aneka Fungsi

 

Advertisement

Seluruh pemimpin perusahaan, termasuk Zhao, memiliki mandat untuk memimpin ZTE dengan program kepatuhan terhadap aturan ekspor terbaik di industri. Kedua, ZTE membentuk komite kepatuhan terhadap aturan yang dipimpin CEO dengan wewenang dan tugas membuat perubahan berarti terhadap kebijakan dan prosedur kerja perusahaan, serta menjalankan kegiatan pengawasan yang lebih luas pada program kepatuhan.

Ketiga, ZTE menghapuskan fungsi kepatuhan terhadap aturan dari Departemen Legal dan membentuk departemen terpisah dengan menambah orang demi membangun program kepatuhan dengan independensi yang lebih besar. Keempat, menunjuk pengacara di AS, Matt Bell, menjadi chief export compliance officer dengan tanggung jawab mengawasi perkembangan dan upaya peningkatan program kepatuhan terhadap aturan ekspor berskala dunia.

 

“Kami sangat berterima kasih kepada para pelanggan, mitra, pegawai, dan pemangku kepentingan yang tetap bersama kami dalam melalui masa-masa sulit.”

 

Menurut Zhao, Bell ditunjuk karena telah berpengalaman mengembangkan dan meningkatkan program kepatuhan terhadap aturan di berbagai perusahaan multinasional sepanjang kariernya. Kelima, ZTE menerbitkan Panduan Kepatuhan terhadap Aturan Ekspor yang baru sehubungan dengan anjuran Biro Keamanan Industri AS untuk menerbitkan panduan terperinci bagi para pegawai. Kini, ZTE juga mewajibkan seluruh pegawainya untuk menjalani komitmen kepatuhan terhadap aturan tersebut.

Advertisement

Keenam, ZTE memakai peranti lunak dengan otomatisasi yang menyeleksi pengiriman produk dari ZTE Corporation dan beberapa entitas anak tertentu sehubungan dengan kewajiban pembatasan ekspor. Sistem ini digunakan untuk menentukan jenis produk yang diatur oleh Export Administration Regulations (EAR), memberi kesempatan bagi pihak yang menerapkan embargo dan pembatasan dalam menyaring sejumlah transaksi, dan menunda pengiriman produk yang membutuhkan kajian klasifikasi barang terperinci, penerapan pengecualian izin atau penggunaan izin ketika dibutuhkan. ZTE terus berinvestasi secara signifikan dalam aspek otomatisasi agar bisa memberlakukan sistem ini untuk berbagai entitas anak di seluruh dunia.

 
Terakhir, ketujuh, ZTE melatih lebih dari 45.000 pegawai tentang pembatasan ekspor dan aturan mengenai sanksi serta kebijakan perusahaan pada 2016. ZTE melanjutkan pelatihan guna meningkatkan kesadaran terhadap aturan pada 2017 sembari menggelar pelatihan dengan sasaran tertentu untuk para pegawai berposisi penting, seperti petugas penjualan, pengadaan barang, penelitian dan pengembangan, dan rantai pasok.

Melihat berbagai langkah telah diambil ZTE, Biro Keamanan Industri pun mengusulkan ZTE dihapus dari Entity list—bergantung pada persetujuan dari pengadilan terkait kesepakatan dengan Departemen Kehakiman, mengajukan pembelaan (entry of the plea), dan penerbitan putusan penyelesaian dengan Biro Keamanan tersebut. “Berbagai kesepakatan yang tercapai akan membantu kami bergerak maju dengan posisi lebih kuat dari sebelumnya,” kata Zhao.

 

Baca Juga: Nokia yang Kepedean

 

Masalahnya, meski mendapatkan pengampunan, ZTE tetap harus menerima konsekuensi dari pemerintah AS. Sebagai bagian dari penyelesaian hukum, ZTE wajib membayar denda yang bersifat pidana dan perdata sebesar US$892.360.064 dan denda tambahan senilai US$300.000.000 kepada Biro Keamanan Industri. Jadi, totalnya mencapai US$1.192.360.064. Jelas bukan nominal yang sedikit. Itu setara dengan separuh pendapatan bersih (net income) ZTE pada 2014.

Advertisement

Namun, Biro Keamanan Industri AS memberikan kelonggaran kepada ZTE dengan menyetujui penundaan pembayaran hingga tujuh tahun ke depan. Itupun masih ada embel-embel-nya, yakni dengan syarat ZTE bersedia menuruti kewajiban yang tertera pada kesepakatan dengan Biro dan tetap bekerja sama dengan Biro Auditor dan Pemantauan Kepatuhan Aturan Independen.

 

ZTE wajib membayar denda kepada Biro Keamanan Industri senilai US$1.192.360.064.

 

ZTE menyetujui ketentuan itu. Dengan mengikuti beberapa kesepakatan dan menerapkan program kepatuhan perusahaan yang baru, ZTE yakin dapat kembali mengembangkan bisnis dan menyediakan berbagai solusi inovatif bagi para mitra sebagai New ZTE. Selama ini, ZTE telah menciptakan kemitraan dengan banyak pemasok barang AS yang mendukung hampir 130.000 pekerjaan berteknologi tinggi.

“Kami sangat berterima kasih kepada para pelanggan, mitra, pegawai, dan pemangku kepentingan yang tetap bersama kami dalam melalui masa-masa sulit,” ujar Zhao. Di satu sisi yang berjarak amat jauh, Mahmoud Khosravi, Managing Director TCI, kepada Reuters, menyatakan perusahaannya tidak terpengaruh sama sekali dengan sanksi AS terhadap mitranya, ZTE. “Kami memiliki teknologi terbaru dalam jaringan kami,” ujarnya.**

Advertisement