Connect with us

Pilihan Sulit

Pilihan Sulit Jusuf Sjariffudin, Pendiri dan Group CEO Indivara Group

Jusuf Sjariffudin, pendiri dan Group CEO Indivara Group, menceritakan beragam pilihan sulitnya selama membangun perusahaan.

Published

on

Dalam berkarier atau pun berbisnis, pernahkah Anda menghadapi dilema atau pilihan sulit (hard choice)?

Berikut pilihan sulit Jusuf Sjariffudin, pendiri dan Group CEO Indivara Group

Bukan pernah lagi, (tapi) sering. Banyak orang tahunya saya memulai Jatis (Jatis Group, yang kini menjadi lini bisnis Indivara Group) ini dengan saham mayoritas, tidak. Saya memulai tidak dengan mayoritas, lho. Namun, saya sudah melalui semua tantangan yang ada.

Di awal-awal berdiri saja saya sudah mengalami pilihan sulit. Saya dulu kan di Andersen Consulting dan IBM Consulting sebelum mendirikan Jatis. Cuma basis saya di Singapura. Waktu itu saya capek saja karena ketika bekerja di IBM saya menangani 13 negara yang sering keliling dan jarang di rumah.

Terus saya berpikir kenapa tidak kembali saja ke Indonesia lalu mendirikan satu perusahaan yang fokusnya di software dan services. Apalagi waktu itu saya lihat perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia kebanyakan hanya menjual boks (perangkat keras) dan belum banyak yang menawarkan bisnis services dan membuat software sendiri.

Advertisement

Kebetulan waktu di IBM saya pegang pasar Indonesia juga, jadi sudah punya banyak klienlah. Pas mulai mimpinya cuma itu. Terus saya jual rumah, jual mobil, semua aset saya di Singapura saya jual dan pulang ke Indonesia pada Juni 1997.

Ketika pulang ke Indonesia kan kurs dolarnya masih Rp1.300-an kalau tidak salah, saya lupa. Tidak terbayang akan ada krisis moneter. Banyak orang tidak yang tahu, pas saya memulai Jatis ada satu bank lokal yang sebelumnya menjadi customer saya komit mau memberikan kontrak US$2 juta.

Jusuf Sjariffudin, pendiri dan Group CEO Indivara Group

Mereka mau lantaran banking roadmap mereka yang membangun saya, waktu saya masih di IBM. Tapi, tiba-tiba krisis moneter datang. Bank yang yang memberikan komitmen tadi bilang tidak bisa kasih kontraknya. Jadi, saya bilang, waduh piye tho, enggak ada duit enggak ada kontrak.

Baca Juga: Indivara Group: “Revenue Kami Lebih Besar dari Bukalapak”

Lalu, pada 2006, Jatis pernah mau IPO tapi cancel. Waktu itu kami tidak punya duit. Duit kami di bank tinggal untuk sebulan gaji. Kemudian saya pinjam ke bank pakai personal guarantee dapat pinjaman Rp30 miliar. Itu buat restrukturisasi.

Terus pada 2011 saya punya teman atau punya strategic investor yang ingin ber-partner dengan saya untuk membeli saham Sumitomo. Sudah ke notaris waktu itu, di tengah jalan dia tidak komit. Sementara saya sudah pinjam duit ke bank. Saya sampai kena collection level empat di bank. Sampai orang bank datang ke rumah mengambil mobil saya.

Advertisement

“Pada 2015, saya punya strategic investor yang ingin bergabung. Begitu duitnya masuk, kami ekspansi dong. Eh, enggak sampai dua bulan dia minta duitnya kembali.”

Pada 2015, saya juga punya strategic investor yang ingin bergabung. Begitu duit masuk, kami ekspansi dong. Eh, enggak sampai dua bulan dia minta duitnya kembali. Padahal, ada agreement. Dan, kalau di Indonesia ada investor yang pakai cara-cara yang melibatkan polisi, kan. Jadi, kami sempat berurusan dengan polisi. Akhirnya, ya sudah, setelah tiga tahun, sebagaimana jangka waktu perjanjian, kami pulangkan duitnya sesuai agreement.

Makanya, saya selalu bilang, perusahaan itu fundamental bisnisnya mesti kuat. Sebab, kalau fundamentalnya enggak kuat, bayangkan bagaimana kalau bisnis itu hanya bakar-bakar duit? Karena itu, kami punya CEO-CEO yang semuanya sangat-sangat tangguh.

Antonius Kho (CEO Jatis Solutions), misalnya, pernah susah atau enggak? Pernah. Bisnisnya pernah susah, cashflow-nya terganggu, dan mesti dia kejar. Bayangkan, untuk Jatis Mobile, setiap bulan secara cashflow kalah Rp30-40 miliar. Kenapa? Karena ke perusahaan telekomunikasinya harus bayar dulu (prepaid), sedangkan customer-nya postpaid. Cash window-nya itu 80 hari. Nah, kalau manajemen kami enggak canggih, mana bisa?

Jadi, jokes saya itu, cari orang yang the real man untuk mengurusi the real business, bukan startup yang cuma bakar-bakar duit. Saya dan Indivara sudah melalui itu semua. Kalau real entrepreneur enggak bisa melewati itu, waduh jangan panggil CEO deh kalau hanya bakar duit. The real CEO itu ada angin sekencang apa pun akan cari solusinya. Nah, itulah DNA-nya Jatis dan Indivara.

Dua tahun ini kan terjadi pandemi, profit kami naik 180%. Padahal, dalam kondisi normal profit kami tidak sebesar itu. Profit ya. Revenue sih naiknya cuma 20%. Itu karena model bisnis kami. Jadi, setiap krisis pasti kami tumbuh.

Advertisement

Untuk the next five years, revenue kami ditargetkan tumbuh hampir 4 kali lipat dan profit kami ditargetkan hampir 15 kami lipat. Lucunya, bukan saya yang punya angka, melainkan CEO-CEO-nya (anak-anak perusahaan) sendiri yang menetapkan perkiraan dan target tersebut.

—Diceritakan oleh Jusuf Sjariffudin, pendiri dan Group CEO Indivara Group, kepada Purjono Agus Suhendro dan Ayu Tiara dari TechnoBusiness Indonesia belum lama ini.

Tekan “tombol lonceng” di sisi kiri layar Anda untuk mendapatkan notifikasi berita terbaru dari TechnoBusiness lebih cepat. 

Simak berita-berita kami dalam bentuk video di kanal TechnoBusiness TV. Jangan lupa berikan atensi Anda dengan “like, comment, share, dan subscribe”.

Advertisement
Continue Reading
Advertisement