Connect with us

TechnoBusiness Exclusive

Savills: Banyak Gedung Perkantoran Ditunda Pembangunannya

Anton Sitorus, Director and Head of Research and Consultancy Savills Indonesia, mengatakan banyak gedung perkantoran yang tertunda pembangunannya.

Published

on

Jakarta, TechnoBusiness Exclusive Tidak ada yang menyangka akan terjadi pandemi COVID-19 yang amat “berbahaya”, bahkan meluluhlantakkan semua sektor, termasuk sektor properti, di seluruh dunia.

Baca Juga: Cushman & Wakefield: Pasar Perkantoran Jakarta Terimbas Pandemi

Di Indonesia, tingkat perekonomian yang anjlok lantas “membalikkan” subsektor perkantoran yang sebelumnya berada di jalur optimistis menjadi berada di “jurang penderitaan”: banyak ruang kantor kosong, harga sewa pun merosot tajam.

Bahkan, Anton Sitorus, Director and Head of Research and Consultancy Savills Indonesia, mengatakan banyak gedung perkantoran yang tertunda pembangunannya akibat pandemi. “Istilahnya on-hold,” katanya.

Advertisement

Seperti apa detailnya? Berikut penjelasan Anton Sitorus kepada Purjono Agus Suhendro dari TechnoBusiness Indonesia dalam program TechnoBusiness Exclusive belum lama ini:  

Baca Juga: Colliers: Over Supply Pasar Perkantoran Sudah “Nemen” Sekali

Pandemi membuat perekonomian Indonesia menurun yang mengakibatkan pasar perkantoran terkena imbasnya. Ada pasokan baru tapi tingkat kekosongan ruang kantor juga bertambah. Betul demikian?

Jadi, seperti sub-sub properti yang lain, subsektor perkantoran terkena imbas yang lumayan signifikan. Karena di mana-mana, tidak hanya di Indonesia, di seluruh dunia, kegiatan masyarakat dibatasi. Apalagi lockdown yang membuat tidak bisa ke kantor sangat berpengaruh terhadap permintaan ruang kantor. Dampaknya memang tingkat hunian perkantoran menjadi turun.

Sejak beberapa tahun yang lalu banyak proyek perkantoran yang masuk ke pasar dan mereka tadinya berharap, seiring pertumbuhan ekonomi, kebutuhan ruang kantor meningkat. Tapi, karena ada COVID-19, rencana perusahaan-perusahaan itu batal. Ekspansi perusahaan batal sehingga yang tadinya berencana menyewa gedung baru atau memperluas kantornya jadi batal.

Advertisement

Akhirnya, dengan jumlah proyek-proyek yang masuk ke pasar cukup banyak, tingkat hunian menjadi turun. Kalau sebelum COVID-19 itu tingkat kekosongannya 22%, sekarang jadi naik ke hampir 30%. Boleh dibilang tinggi. Dari 22% ke 30% itu lumayan besar ya.

Itu di CBD atau di luar CBD?

Semuanya. Di CBD dan di luar CBD. Kalau yang di CBD itu sekitar 30%, tapi kalau di luar CBD sedikit agak lebih rendah, sekitar 28-29%. Kondisinya orang tidak bisa bekerja di kantor, tapi masa jangka waktu sewanya masih berjalan. Jadi, walaupun gedung-gedung kantor di Sudirman-Thamrin kosong, tapi perusahaan-perusahaan kan masih berjalan.

Kalau kondisi pandemi dan ekonomi masih begini-begini terus, tidak ada penyelesaian, bisa jadi sebagian perusahaan akan berpikir cari alternatif. Kalau misalnya kondisinya begini terus, revenue buat kantornya begini-begini saja, turun dan tidak bisa naik lagi, mungkin mereka bisa saja stop menyewa di gedung kantor pindah ke rumah atau ruko. Seperti dulu kejadian 1998 kan banyak perusahaan-perusahaan yang boleh dibilang bangkrut dan tutup.

Bisa jadi hanya virtual office…

Advertisement

Nah, virtual office kan mereka juga mengandalkan dari perusahaan-perusahaan yang ada. Memang kelebihan virtual office itu karena dia fleksibel, jadi buat sebagian perusahaan-perusahaan lebih memilih menggunakannya.

Kalau gedung kantor minimal sewanya tiga tahun. Artinya, biayanya besar. Tapi, kalau virtual office bisa bulanan, bahkan yang sekarang co-working space ini bisa harian.

Baca Juga: Mengungkap Strategi B2B Customer Loyalty Program XL Axiata

Artinya, kalau pandemi ini berkepanjangan, bisa jadi banyak perusahaan yang akhirnya memilih virtual office

Bisa jadi. Bisa jadi. Yang sudah tidak sanggup lagi tapi dia tetap butuh alamat di Sudirman, pakai virtual office. Karena virtual office ini bisa dibilang hanya sewa alamat. Nanti di situ, di virtual office, ada operatornya, ada resepsionis yang menjawab telepon dan sebagainya. Tapi orang dari perusahaan yang bersangkutan tidak bekerja di situ. Hanya meminjam alamatnya saja. Itu namanya virtual office.

Seperti sekarang, kan, WFH atau kerja di mana saja…

Advertisement

Ada yang namanya virtual office, ada yang namanya flexible office. Kalau virtual office itu dari dulu sudah ada. Sebelum co-working bermunculan, virtual office sudah ada. Mereka melayani sewa alamat, ada juga yang menyediakan ruang kantor.

Jadi, di virtual office ini ada juga istilahnya service office. Biasanya, sebelum COVID-19, virtual office dan service office itu dipakai oleh perusahaan-perusahaan yang baru masuk Indonesia. Jadi, ketika awal-awal masuk Indonesia, mereka mesti mengurus domisili, izin, nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan segala macam. Setelah mendapat domisili, izin, dan lain-lain, kemudian baru bisa punya hak untuk menyewa office di Indonesia karena perseroan terbatas (PT)-nya sudah terbentuk.

Kalau PT-nya belum terbentuk, izinnya belum ada, biasanya mereka menyewa virtual office atau service office. Orangnya, misalnya, cuma dua, cuma bulenya dua orang, belum banyak karyawannya, jadi dia sewa virtual office atau service office. Itu dulu, sebelum kejadian pandemi dan munculnya co-working space.

Kalau kehadiran co-working space yang dapat disewa harian juga tidak memengaruhi permintaan pasar perkantoran?

Kalau co-working space ini beda lagi. Inilah yang dibilang disrupsi bisnis perkantoran. Sebab, co-working space ini sama dengan gedung perkantoran, hanya fleksibel banget. Makanya, tadi saya bilang, kalau sewa gedung konvensional kan minimal tiga tahun, kalau co-working space ini bisa harian, luasnya juga bisa hanya satu meja.

Advertisement

Nah, co-working space ini sebenarnya mengikuti konsep virtual office zaman dulu. Jadi, kalau dibilang antara virtual office, service office, dan co-working space ini mirip-mirip. Bahkan, sekarang ini perusahaan virtual office dan service office yang zaman dulu akhirnya masuk ke bisnis co-working space.

Mereka semua ini saya sebut adalah konsep gedung perkantoran yang fleksibel atau flexible office. Inilah yang sekarang menjadi tren. Karena ya itu dengan kondisi pandemi dan perekonomian yang tidak menentu ini orang mencari alternatif untuk menekan biaya, salah satunya melalui konsep-konsep ini. Krena bisa ditekan banget biayanya.

Namun, tidak semua perusahaan bisa. Seperti bank, bank tidak bakal bisa. Mereka harus di gedung perkantoran konvensional. Kecuali bank yang sudah canggih seperti bank digital, misalnya Bank Jago, Aladin, BCA Digital. Itu lagi-lagi disrupsi, kan. Kalau sudah begitu, kita tidak tahu lagi ke depan bakal seperti apa imbasnya terhadap pasar perkantoran ini.

Baca Juga: Strategi B2B Customer Loyalty Program Biznet

Tak dimungkiri semua bisnis mengarah ke digitalisasi. Prediksi Anda, apa imbasnya terhadap pasar perkantoran jangka panjang?

Advertisement

Ya, mungkin di masa depan bisa jadi gedung kantor itu tidak perlu banyak karena semua bisa dari mana saja. Semua bisa melalui online, interaksi bisa hanya melalui handphone atau laptop. Tapi, itu di masa depan ya, maksudnya berapa puluh tahun lagi. Ya, tidak mungkin juga 10 tahun, 20 tahun, mungkin bisa tahun berapalah begitu.

In the future bisa jadi seperti itu. Sementara, dalam mencapai waktu tersebut saya pikir pasar perkantoran masih bergerak seperti sekarang, masih fluktuatif sesuai kondisi perekonomian.

Ya, mungkin di masa depan bisa jadi gedung kantor itu tidak perlu banyak…Anton Sitorus, Director and Head of Research and Consultancy Savills Indonesia

Contohnya di sektor hotel, kan muncul Airbnb, ada Oyo, dan lain-lain. Airbnb, misalnya, orang bilang itu merupakan perusahaan yang memiliki jaringan hotel terbesar di dunia tapi tidak memiliki asetnya. Itu kan suatu hal yang fenomenal. Tapi apakah Airbnb mengalahkan bisnis hotel konvensional, tidak juga. Buktinya bisnis hotel konvensional masih tetap ada.

Di Bali, sebelum PPKM, waktu pandemi mulai membaik, Bali mulai ramai. Yang menempati hotel-hotel di Bali juga banyak. Pada akhirnya, semua itu balik lagi pada kualitas. Oke bisnis digital bisa memberikan kenyamanan, tapi secara kualitas tidak bisa menggantikan bisnis konvensional, mungkin orang akan kembali lagi ke yang bisnis konvensional itu. Intinya, kalau saya bilang, semuanya akan berjalan beriringan. Jadi, tidak ada yang saling memakan satu sama lainnya.

Advertisement

Ada porsinya sendiri-sendiri…

Benar. Sama juga bisnis ritel. Dengan adanya online retail nanti mal akan mati, tidak juga. Tetap saja orang butuh pergi ke mal, butuh cuci mata, butuh kumpul-kumpul ketemu teman-teman, saudara. Jadi tidak bisa hanya online saja. Dua-duanya berjalan beriringan.

Belakangan ini banyak perusahaan teknologi masuk ke Indonesia di tengah bisnis yang lain tidak bagus. Perusahaan-perusahaan data center juga berekspansi ke Indonesia. Apakah itu tidak terlalu memengaruhi ruang sewa pasar perkantoran di Tanah Air?

Benar, untuk saat ini bisnis teknologi informasi dan online digital yang menyumbangkan permintaan pasar perkantoran. Lagi-lagi ketika mulai masuk ke Indonesia mereka butuh ruang kantor kan, mereka butuh ruang tempat kerja. Memang sekarang klien-klien sektor perkantoran kebanyakan dari perusahaan-perusahaan semacam itu. Kalau perusahaan-perusahaan semacam itu terus berkembang tentunya permintaan pasar perkantoran dari sektor itu akan terus berkembang juga. Ada pengaruhnya.

Kalau dari farmasi? Karena kan bisnis yang paling tumbuh sekarang adalah farmasi.

Advertisement

Benar, benar. Farmasi masih survive, masih bisa maintain operasi bisnisnya. Kalau sejauh ini kami belum bisa melihat ada tenant-tenant dari perusahaan farmasi yang tutup. Maksudnya, malah ada yang berkembang. Yang jelas mereka masih survive.

Kalau prediksi Anda, penurunan permintaan perkantoran ini akan sampai kapan?

Kalau menurut saya, kuncinya tergantung pandemi juga.

Pandemi kan belum ketahuan akan berakhir kapan. Jadi, Anda juga belum bisa memprediksi akan berakhir kapan?

Saya pikir begitu. Saya pikir semua sektor bisnis, termasuk ekonomi, itu punya ketergantungan dengan kondisi pandemi. Karena pandemi ini imbasnya ke semua aspek kehidupan, tidak hanya masalah ekonomi. Tidak hanya masalah sosial, budaya, agama. Ini menyerang semua aspek. Ekonomi dan bisnis tidak bisa lepas.

Advertisement

Jadi, ini “mbahnya” krisis ya…

Saya pikir begitu… Ketika kita dibatasi untuk tidak ketemu orang itu kan hal yang sangat mendasar sekali.

Mana yang lebih terimbas, subsektor perkantoran atau ritel?

Ritel sama seperti office. Sekarang mal banyak yang tutup, tenant-tenant tidak boleh buka. Yang boleh buka cuma supermarket, makanan, hanya melayani delivery, praktis boleh dibilang dengan kondisi seperti itu mal menderita. Pengelolanya menderita, tenant-tenant-nya juga menderita, karena tidak ada pemasukan.

Nah, lagi-lagi kalau sudah tidak sanggup… Sewa sekarang memang masih berjalan nih, masih aktif, tapi nanti kalau sewanya berakhir, kalau dia tidak sanggup lagi dengan kondisi begini mau tidak mau mesti tutup, gulung tikar. Kalau ritel itu namanya jualan, kalau tidak ada yang beli dagangannya ya sudah, tidak ada cerita lain, gulung tikar. Kalau sudah seperti itu tingkat hunian bakal turun terus. Kalau sekarang sih kita belum terlalu melihatnya ya.

Advertisement

Karena masih menghabiskan masa sewa …

Juga, kalau di ritel itu yang proyek-proyek baru tidak banyak, tidak seperti di perkantoran. Kalau perkantoran, gedung-gedung barunya kan lumayan banyak. Kalau mal yang baru di Jakarta itu boleh dihitung dengan jarilah. Dan, kebanyakan mal yang baru itu kecil-kecil, jadi pasokannya itu nambahnya tidak banyak.

Memang pasokan perkantoran banyak?

Kantor lebih banyak dibanding sektor ritel. Kalau di ritel tingkat kekosongannya juga masih bagus, masih di bawah 15%. Kalau perkantoran, ya, tadi sudah di atas 20%-an. Mal itu dulu tingkat kekosongannya cuma 5%. Artinya, kalau kita lihat mal-mal di Jakarta penuh semua.

Tapi perkantoran baru kebanyakan di CBD?

Advertisement

Secara jumlah kebanyakan di CBD. Sebenarnya kalau dilihat dari daftar jumlah gedung baru itu panjang. Tapi, kita juga tahu, sebagian proyek gedung perkantoran sekarang ditunda pembangunannya. Istilahnya on-hold. Kita tidak tahu. Kalau pun berlanjut, apakah lanjutnya 6 atau 12 bulan lagi, kita tidak tahu.

Jadi, pengaruhnya sudah sampai pada kelangsungan pengembangan gedungnya ya?

Wajar saja, contohnya sekarang kalau kita punya bangunan kantor, sementara biaya konstruksi tidak turun, lalu melihat prospeknya seperti ini, apakah kita mau melanjutkan proyeknya? Kan, pasti mikir-mikir dulu, kan. Antisipasi nih kalau misalnya saya teruskan tapi setelah selesai tidak ada tenant-nya, rugi dong.

Mendingan sebelum rugi ya sudah berhenti dulu. Istirahat dulu istilahnya. Berhentinya sampai kapan kita tidak tahu juga karena kita tidak tahu imbas pandemi ini sampai kapan. Jadi begitu, kalau dari daftar proyek-proyek yang akan masuk ke pasar itu banyak.

Pandemi membuat kemampuan penyewa ruang kantor menurun. Apa yang harus dilakukan agar para penyewa tidak hengkang?

Advertisement

Karena kita tahu kondisinya seperti sekarang, kalau terus bertahan di harga yang seperti biasanya nantinya tidak ada yang mau. Perlu dipertimbangkan. Pemilik gedung saat ini harus memaklumi kondisi seperti sekarang ini, mempertimbangkan supaya terjadi win-win solution. Karena memang sekarang untuk mendapatkan tenant saja sudah bersyukur.

Banyak gedung-gedung baru yang masih kosong, tingkat huniannya masih 10-20%. Kalau hanya segitu ya tidak mungkin bisa menutupi operational cost-nya. Pemilik atau pengelola gedung harus menambah jumlah penyewanya. Kalau pun memberikan harga murah dulu ya kenapa tidak? Karena kondisinya seperti itu sekarang. Makanya, cari win-win solution saja.

Baca Juga: Inavoice: “Kami Punya 200 Voice Over Talent dari 30 Negara”

Biasanya apa sih yang dicari oleh para penyewa, apakah lokasi sangat menentukan atau fasilitas yang cenderung menjadi penentu?

Kalau untuk kantor, rata-rata perusahaan memprioritaskan lokasi. Lokasi yang diincar yang bergengsi atau sesuai dengan karakter bisnisnya. Kalau bank kan harus yang prestise, harus di CBD, akhirnya yang lain-lain juga begitu.

Advertisement

Apalagi sekarang banyak gedung yang memberikan harga sewa murah. Jadi, yang tadinya perusahaan hanya sewa di pinggiran bisa pindah ke lokasi yang lebih bergengsi. Dengan nilai sewa di pinggiran dulu sekarang dapat lokasi di CBD, kenapa enggak? Kedua, kualitas, fasilitas, dan sebagainya.

Kualitas itu maksudnya?

Kualitas itu ya seperti building grade-nya. Kalau misalnya bisa sewa di grade premium lagi-lagi lebih bagus. Harga gedung premium pun turun, tidak seperti dulu. Plaza Senayan, misalnya, dulu bisa sampai Rp700.000 sampai Rp800.000 per m2 per bulan, itu kan luar biasa mahalnya. Sekarang harganya bisa turunnya lumayan.

Yang menarik itu gedung-gedung sekelas Sentral Senayan yang baru-baru.  Misalnya yang di Sahid Sudirman Center, itu kan gedung baru dan kelasnya premium, itu harganya… Karena gedungnya besar banget, jadi buat mengisinya perlu tenant, makanya mereka berani memberikan harga yang lebih murah.

Makanya, dengan harga sewa yang dulu cuma bisa didapat di pinggiran, sekarang bisa diperoleh di kawasan seperti di Sahid Sudirman Center dengan kualitas premium, bagaimana perusahaan tidak tertarik? Tapi, balik lagi… Memang menggiurkan, tapi dengan kondisi ekonomi lesu dan pandemi seperti ini, walaupun harga sewanya murah tidak semua perusahaan berani.  

Advertisement

Tekan “tombol lonceng” di sisi kiri layar Anda untuk mendapatkan notifikasi berita terbaru dari TechnoBusiness lebih cepat. 

Simak berita-berita kami dalam bentuk video di kanal TechnoBusiness TV. Jangan lupa berikan atensi Anda dengan “like, comment, share, dan subscribe”.

Continue Reading
Advertisement