Connect with us

Jeffrey Bahar

Ballmer dan Gates

Published

on

Oleh Jeffrey Bahar, Deputy CEO Spire Research and Consulting

Sebagai pebisnis, Steve Ballmer selalu mengingatkan akan pentingnya skenario demi skenario perusahaan dalam menghadapi marabahaya. Marabahaya itu bisa berasal dari mana saja, baik luar maupun dalam. Saking terus-terusan mengingatkan perihal perlunya menyusun skenario demi skenario semacam itu, ia lantas dijuluki sebagai pakar kekhawatiran.

 ballmer-dan-gates-2 Ballmer tidak sendirian. Wakil presiden di perusahaan raksasa Microsoft pada 1980-an itu didampingi oleh suhu paranoia, yakni Bill Gates, yang notabene bosnya sendiri. Seperti diceritakan dalam buku berjudul Great by Choice karya Jim Collins dan Morten T. Hansen, Ballmer meninggalkan studinya di Stanford Graduate School of Business untuk bergabung dengan petualangan karibnya.

Sebagaimana dikenang Ballmer dan dicatat dalam buku tersebut, ia melakukan kalkulasi tentang pertumbuhan dan memutuskan Microsoft perlu mempekerjakan 17 orang. Gates kaget dan menganggap usulan itu membahayakan perusahaan karena akan menambah pengeluaran cukup besar. Padahal, Microsoft mesti menggalang pemasukan, bukan pengeluaran.

Kala itu, tentu Microsoft belum sebesar sekarang. Namun, sebesar apa pun Microsoft sepertinya kekhawatiran Gates tetap perlu melekat sebagai penyeimbang agresivitas perusahaan. Apalagi di saat sulit seperti sekarang ini, efisiensi tenaga kerja amat dibutuhkan. “Rasa takut harus memandu Anda, tapi rasa takut itu harus laten,” kata Gates pada 1994 seperti dikutip dalam buku tersebut.

 

Advertisement

Baca Juga: “Retargeting?” Ini Eranya “Multiple Retargeting”

https://technobusiness.id/column/retargeting-ini-eranya-multiple-retargeting/

Dari satu sisi, Ballmer benar. Jikalau perusahaan sudah merasa perlu menambah orang untuk menangani pekerjaan-pekerjaan baru atau mempercepat proses produksi, kenapa tidak dilakukan? Namun, apa yang menjadi pemikiran Gates juga tidak salah. Rasa waspada, waswas, hati-hati dalam berbisnis itu sangatlah penting.

Versi Gates, sesuatu mesti dihitung untung ruginya dengan teliti. Dengan demikian, maksimalisasi sumber daya bisa menjadi pilihan demi meraih yang namanya efisiensi. Apalagi di zaman yang serbasulit seperti sekarang ini, pemikiran Gates bisa jadi lebih diperlukan ketimbang ide Ballmer. Walau semua itu akan dapat diukur oleh perusahaan masing-masing.

Di bisnis teknologi, cara pandang Ballmer dan Gates amat tepat menjadi pelajaran bagi perusahaan. Ada kalanya perusahaan mesti menggunakan langkah Ballmer untuk menggenjot kinerja bisnisnya. Ada waktunya pula apa yang menjadi pemikiran Gates lebih tepat diterapkan demi menjaga stabilitas bisnis, terutama di kala daya beli pasar sedang menurun.

Ketika teknologi televisi masih dikuasai Jepang sebelum 2000-an dan setelahnya barangkali bisa menjadi pelajaran berharga. Sebagaimana temuan teknologi yang sedang bagus-bagusnya, hampir semua merek televisi berasal dari Negeri Sakura. Semua rumah di berbagai belahan dunia teronggok televisi merek Sony, Sharp, Panasonic, dan lainnya.

Advertisement

Panen raya produk televisi Jepang itu jelas memicu produsen untuk merekrut tenaga kerja dan tim profesional lainnya secara besar-besaran. Perhitungannya, pengeluaran besar bisa ditopang dengan pendapatan tinggi.

ballmer-dan-gatesTapi, zaman sudah berubah. Sebagian besar penduduk dunia memandang efisiensi itu perlu—bisa jadi didorong oleh tekanan resesi ekonomi. Membeli televisi pun tak mesti yang mahal-mahal, seiring merek-merek Korea Selatan seperti Samsung dan LG, juga merek-merek China, melaju ke pasar ekspor yang membanderol dengan harga lebih murah.

Layaknya permainan jungkitan, ketika permintaan pasar tertekan, itu juga akan menekan kebutuhan tenaga kerja perusahaan. Begitu juga sebaliknya, di kala pasar sedang booming, perusahaan cenderung menambah tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Padahal, sebaik apa pun kondisi pasar saat ini, perusahaan mesti tetap bersikap paranoid terhadap apa pun yang mungkin terjadi.

Apalagi sekarang ini zaman semakin terkoneksi satu sama lain. Antarnegara bahkan tak ada batasannya lagi. Tidak bisa hidup sendiri. Malahan teori blue ocean strategy yang diperkenalkan W. Chan Kim dan Renee Mauborgne beberapa tahun lalu dianggap sudah tidak relevan lagi karena dunia sekarang no box.

Apa yang diperdebatkan Ballmer dan Gates di Microsoft itu bisa menjadi tolok ukur di perusahaan teknologi lain. Pendapat mereka tidak ada yang salah. Keduanya justru ibarat perangkat kendaraan, yang satu pedal gas dan yang satu lagi remnya. Kolaborasi seperti itu akan membawa dampak positif bagi perusahaan. Itulah teori keseimbangan (balance theory) yang juga dibutuhkan para pebisnis teknologi saat ini.**

 

Advertisement

spire-researchCatatan TechnoBusiness ID: Spire Research and Consulting merupakan perusahaan periset pasar dan konsultasi bisnis untuk pasar global, terutama di negara-negara berkembang. Perusahaan yang didirikan pada 2000 ini memiliki kantor perwakilan di semua negara Asia Tenggara, ditambah China, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang, dengan kantor pusat di Singapura.