Connect with us

Jeffrey Bahar

Permata Baru di Industri Pelabuhan

Published

on

Oleh Jeffrey Bahar

Group Deputy CEO Spire Research and Consulting

 

●●●

Advertisement

Pada Kamis (11/7) dua pekan lalu, saya didaulat menjadi salah satu pembicara dalam ajang “6th Southeast Asia Port Expansion Summit” di Kuala Lumpur, Malaysia. Acara itu diselenggarakan oleh Lnoppen (Noppen Group), perusahaan internasional yang memfasilitasi bisnis di Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.

Lnoppen aktif menyampaikan potensi yang luar biasa dan membantu investor global untuk masuk ke pasar-pasar di kawasan tersebut. Seperti halnya pada “6th Southeast Asia Port Expansion Summit” di negeri jiran itu, Lnoppen mengumpulkan para insan di industri pelabuhan, termasuk investor, dari seantero jagat.

Baca Juga: Berkah Negeri Seribu Momen

Sebagai pebisnis dan investor tentu saja sudah amat paham tentang industri mereka. Industri yang dalam daftar 10 besar pelabuhan kontainer di dunia 2018 versi World Shipping Council diisi oleh (1) Port of Shanghai, (2) Port of Singapore, (3) Port of Shenzhen, (4) Ningbo-Zhoushan Port, (5) Guangzhou Harbor.

Lalu, (6) Port of Busan, (7) Port of Hong Kong, (8) Qingdao Port, (9) Port of Tianjin, dan (10) Jebel Ali Port. Melihat daftar itu, hampir semua di Asia, khususnya China. Itu menandakan bahwa perekonomian global saat ini terpusat di kawasan ini. Pelabuhan-pelabuhan kontainer di negara-negara maju jauh berada di bawah daftar urutan.

Advertisement

[nextpage title=”Pelabuhan Kecil pun Menguntungkan”]

Port of Rotterdam, Belanda, memang menjadi pelabuhan kontainer terbesar di Eropa, tapi hanya menduduki posisi 11. Port of Antwerp, Belgia, terbaik kedua di Benua Biru, berada di urutan ke 13. Dua pelabuhan kontainer terbesar di Amerika Serikat, Port of Los Angeles dan Port of Long Beach, bahkan hanya menempati urutan ke 17 dan 20.

Nah, “besar” selalu menguntungkan, setidaknya dari jumlah kontainer yang dikendalikannya. Port of Shanghai, yang terbesar sejagat, per 2018 lalu mengendalikan 42,01 juta twenty-foot equivalent unit (TEU). Jebel Ali Port, yang berada di urutan ke-10, mengendalikan 14,95 juta TEU. Sudah jelas mereka yang besar menjadi pengumpul (hub port) dari yang besar lainnya ataupun yang kecil.

Baca Juga: Digitisation + Digitalisation = Digital Transformation

Namun demikian, kecil bukan berarti tidak menarik. Di depan ratusan pelaku industri dan investor dalam konferensi tersebut, saya sampaikan bahwa “ada permata yang begitu indah” dari pelabuhan-pelabuhan kecil, terutama di Indonesia, yakni pelabuhan privat atau swasta untuk kargo nonkontainer (non-containerized cargo private port).

Advertisement

Kita tidak bicara tentang pelabuhan-pelabuhan kontainer terbesar di dunia seperti di atas, atau Pelabuhan Tanjung Priok yang berada di urutan ke-22, tapi waktunya merilik ke pelabuhan nonkontainer yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta. Memang apa menariknya?

[nextpage title=”Peluang Investasi di Pelabuhan”]

Seperti kita ketahui, Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam seperti batubara, minyak dan gas bumi, minyak sawit mentah, dan lain sebagainya. Untuk mengekspornya dibutuhkan pelabuhan yang berada di sedekat mungkin dengan sumber daya.

Marunda Center Terminal, salah satu pelabuhan kargo nonkontainer privat.

Sekarang saja volume sumber-sumber daya yang diangkut melalui pelabuhan kargo nonkontainer yang telah ada terus meningkat.

Berdasarkan penelitian Spire Research and Consulting, meski sempat turun dari 1,22 miliar ton pada 2014 ke 912 juta ton pada 2015, volume pengiriman melalui pelabuhan kargo nonkontainer kembali melaju ke angka 984 juta ton pada 2016, lalu 1,11 miliar ton pada 2017.

Baca Juga: Jurus Maut BlackBerry

Advertisement

Tahun ini, volume pengiriman melalui pelabuhan kargo nonkontainer diperkirakan mencapai 1,36 miliar ton, naik dari 1,23 miliar ton tahun lalu. Jika dalam rentang 10 tahun sejak 2014 rata-rata tumbuh 11% per tahun, maka volume pengiriman melalui pelabuhan kargo nonkontainer pada 2024 mencapai 2,26 miliar ton.

[nextpage title=”Pelabuhan Kargo Nonkontainer”]

Saat ini, pengiriman-pengiriman itu dilayani oleh pelabuhan-pelabuhan milik negara dan privat. Dari 10 besar pelabuhan kargo nonkontainer di Indonesia, ada tiga milik perusahaan negara, yaitu Pelindo III (peringkat 1), Pelindo IV (3), Pelindo I (4); dan tujuh lainnya privat, antara lain Kaltim Prima Coal (2), Adaro Indonesia (5), Marunda Center Terminal (6), Berau Coal (7), Kideco Jaya Agung (8), Arutmin Indonesia (9), dan Wilmar Nabati Indonesia (10).

Sebanyak 10 besar pelabuhan kargo nonkontainer itu sedikit dari 1.519 pelabuhan kargo nonkontainer privat dan 984 terminal khusus untuk kepentingan sendiri (special purpose terminal) yang ada di Tanah Air. Apakah jumlah itu belum cukup? Jawabannya, masih jauh dari kategori cukup.

Baca Juga: Spire Research and Consulting Memiliki Empat Divisi Riset

Advertisement

Indonesia yang begitu luas dengan perekonomian yang tumbuh positif, bahkan diproyeksikan menjadi negara maju pada 2030, tentu membutuhkan lebih banyak lagi pelabuhan untuk mempermudah pengiriman produk ekspor-impor, termasuk ekspor sumber daya alam melalui pelabuhan kargo nonkontainer privat.

Maka dari itu, tak salah jika pelabuhan kargo nonkontainer privat di Indonesia bagai “permata baru” yang menarik untuk dilirik para investor dunia. Walau tak mewakili pemerintah, apa yang saya sampaikan kemudian mendapat sambutan yang antusias dari para peserta konferensi. Hasilnya, tinggal tunggu saja nanti.

 

Spire Research and Consulting merupakan perusahaan riset pasar dan konsultasi bisnis global, terutama di negara-negara berkembang. Perusahaan yang didirikan pada 2000 di Singapura ini kini memiliki kantor perwakilan di semua negara Asia Pasifik dan berkantor pusat di Tokyo, Jepang.

PT Spire Indonesia | Wisma BNI Lt. 25 Unit 8-10, Jalan Jend. Sudirman Kav. 1, Jakarta 10220, Telp/Faks: (021) 57945800 www.spireresearch.com

Advertisement

 

 

Advertisement