TechnoBusiness Exclusive
Indivara Group: “Revenue Kami Lebih Besar dari Bukalapak”
Jusuf Sjariffudin, mantan eksekutif Andersen Consulting dan IBM Consulting, menceritakan bagaimana ia membangun Indivara Group hingga menjadi perusahaan pengembang platform bisnis terbesar di Tanah Air.
Published
3 years agoon
Jakarta, TechnoBusiness Exclusive ● Besar tapi tidak kelihatan. Itulah istilah yang cocok untuk menggambarkan Indivara Group, perusahaan penyedia platform bisnis dan layanan konsultasi teknologi informasi terkemuka di Asia Tenggara yang berpusat di Jakarta.
Betapa tidak, kelompok bisnis yang didirikan oleh Jusuf Sjariffudin itu rupanya berada di balik kesuksesan platform-platform teknologi perusahaan-perusahaan besar, terutama perbankan, asuransi, telekomunikasi, dan logistik.
Baca Juga: Strategi B2B Customer Loyalty Program Metrodata Electronics
Indivara Group, yang menaungi Jatis Group (Jatis Solutions, Jatis Mobile, Jatis Singapura, dan Jatis Filipina), menawarkan beragam produk dan layanan berbasis infrastruktur teknologi informasi yang amat penting bagi perusahaan.
Produk dan layanan Indivara Group itu, antara lain pengembangan infrastruktur teknologi wealth management system, loyalty system, payment system, O2O Warung Platform, corporate travel management, dan IRIS enterprise support platform.
Beberapa kliennya, seperti disebutkan dalam laman website-nya, yaitu Bank Mandiri, Danamon, BII, Bank Muamalat, Prudential, FIF Group, Jasa Raharja, PGN, Citilink, Tiket.com, Matahari, Great Eastern, SingTel, Eon Bank, Digi, AirAsia, Astra International, dan Panorama.
Berapa pendapatan (revenue)-nya? “Saya dengan bangga bisa ngomong begini sekarang, ‘Kami punya consolidated revenue lebih besar deh dari Bukalapak.’ Hahaha…,” jawab Jusuf yang juga merupakan mantan eksekutif Andersen Consulting dan IBM Consulting itu sambil tertawa.
Benarkah demikian? Kalau benar, kenapa banyak orang yang tidak tahu dengan Indivara Group dan anak usahanya, Jatis Group? Bagaimana mungkin Indivara Group bisa lebih besar dari raksasa e-commerce Bukalapak yang saja go publik?
Kepada Purjono Agus Suhendro dan Ayu Tiara dari TechnoBusiness Indonesia dalam TechnoBusiness Exclusive di kantornya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, belum lama ini, Jusuf Sjariffudin, Group CEO Indivara Group, memaparkan segala macam hal tentang perusahaannya itu.
Baca Juga: Strategi B2B Customer Loyalty Program Biznet
Jusuf, yang lulusan Nanyang Technological University, Singapura, bercerita mulai dari bagaimana kisahnya merintis PT Jati Piranti Solusindo pada September 1997 hingga sekarang menjadi Indivara Group, strategi bisnisnya, dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui itu semua, simak rangkuman penjelasan Jusuf Sjariffudin berikut ini:
Jatis didirikan pada September 1997. Artinya, sekarang sudah berumur 24 tahun. Bisa diceritakan bagaimana awal mula Anda mendirikan Jatis yang saat itu menjelang krisis moneter?
Mimpinya sih tidak terlalu muluk-muluk. Saya dulu kan di Andersen Consulting dan IBM Consulting sebelum mendirikan Jatis. Cuma basis saya di Singapura. Waktu itu saya capek saja karena ketika bekerja di IBM saya menangani 13 negara yang sering keliling dan jarang di rumah.
Terus saya berpikir kenapa tidak kembali saja ke Indonesia lalu mendirikan satu perusahaan yang fokusnya di software dan services. Apalagi waktu itu saya lihat perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia kebanyakan hanya menjual boks (perangkat keras) dan belum banyak yang menawarkan bisnis services dan membuat software sendiri.
“Bermain teknologi informasi itu mesti seperti kita bermain badminton. Bukan hanya jago di kandang, melainkan juga jago di kancah global.”Jusuf Sjariffudin, pendiri dan Group CEO Indivara Group
Kebetulan waktu di IBM saya pegang pasar Indonesia juga, jadi sudah punya banyak klienlah. Pas mulai mimpinya cuma itu. Terus saya jual rumah, jual mobil, semua aset saya di Singapura saya jual dan pulang ke Indonesia pada Juni 1997.
Ketika pulang ke Indonesia kan kurs dolarnya masih Rp1.300-an kalau tidak salah, saya lupa. Tidak terbayang akan ada krisis moneter. Banyak orang tidak tahu, pas saya mulai Jatis Group ada satu bank lokal yang sebelumnya menjadi customer saya komit mau memberikan kontrak US$2 juta waktu itu. Sebab, banking roadmap mereka yang membangun saya. Waktu saya di IBM ya.
Tiba-tiba krismon kan. Banknya lalu bilang tidak bisa nih kasih kontraknya. Jadi, saya bilang, ‘waduh piye tho, enggak ada duit enggak ada kontrak’. Cuma ada satu advantage. Gara-gara krismon itu, saya melihat ada satu celah nih. Dulu, banyak perusahaan di Indonesia yang software as a service-nya dikerjakan oleh perusahaan asing seperti Andersen Consulting, EY, IBM, HP. Dengan krismon, harga mereka jadi mahal. Mereka juga menarik diri dari Indonesia.
Alhasil, banyak perusahaan di Indonesia yang masih membutuhkan services ini kan, tapi mereka (para konsultan) tidak ada. Tidak ada vendor yang mau dengan harga yang pas. Ya, saya attack, dan teori saya benar. Apalagi perusahaan-perusahaan itu membutuhkan perusahaan teknologi yang bisa melayani consulting, yang bisa membuat software-nya, dan yang tahu pasarnya pula. Jadi, kalau ditanya, jujur kami itu justru hoki karena di saat krismon malah mendapatkan opportunity-nya.
Baca Juga: Mengungkap Strategi B2B Customer Loyalty Program XL Axiata
Jatis Group atau Jati Piranti Solusindo mengusung filosofi pohon jati yang kuat dan tahan lama dengan harapan perusahaan ini bisa tangguh di pasar Asia Pasifik. Mengapa Anda memilih pohon jati untuk perusahaan Anda?
Sebenarnya simpel sih. Waktu itu saya bilang begini kepada teman-teman saya, ‘Bermain teknologi informasi itu mesti seperti kita bermain badminton. Bukan hanya jago di kandang, tapi juga jago hingga ke kancah global.’ Jadi, saya cari nama yang menjadi ciri khas Indonesia. Kenapa pohon jati karena secara organik bisa tumbuh terus, kebetulan pohon jati itu menggambarkan value yang kuat, sinonimous dengan Indonesia, gunanya banyak, dan tahan lama atau long lasting.
Kalau kata “pirantinya” diambil dari kata “software”?
Oh iya, waktu saya kembali ke Indonesia, sebab saya juga tidak sekolah di Indonesia kan, saya tanya, software itu bahasa Indonesia-nya apa sih? Katanya piranti. Kalau ‘solusindo’ saya tahu. Bahkan, klien pertama yang tidak kenal saya, saat saya sodori kartu nama, dia tanya, “Kamu dari perusahaan triplek?” Hahaha…
Jadi, diasosiasikan ke sana, ya?
Iya. Hahaha…
Jatis Group sendiri ada Jatis Solusindo, Jatis Singapura, Jatis Filipina, dan Jatis Mobile. Apa bedanya?
Kan layanan kami itu ada software consulting dan software development. Mulanya dari situ. Kemudian kalau kita lihat, ini mimpinya kami yang sampai sekarang masih relevan, banyak perusahaan di Asia Tenggara itu mau membangun infrastruktur digital. Dan, tidak banyak perusahaan yang melayani mereka di situ. Kebanyakan mereka memakai jasa Andersen Consulting, IBM Consulting. Jadi, kami merasa ada opportunity di situ.
Lalu, saya buatlah Jatis dengan fokus di beberapa industri. Sebab, kalau kita ‘bermain’ software mesti tahu industrinya dulu dong, kalau tidak kita tidak bisa membangunnya.
Untuk ekspansi ke Asia Tenggara, kami mendirikan subsidiari Jatis Singapura dan Jatis Filipina. Itu model bisnisnya sama, kami membantu mereka untuk consulting, melihat proses bisnisnya, dan membangunkan infrastruktur digitalnya. Intinya, Jatis itu membantu perusahaan-perusahaan membangun sistem mereka.
Bagaimana dengan Jatis Mobile?
Oke, saya juga belajar sesuatu ketika di Andersen Consulting dan IBM Consulting. Kalau Andersen Consulting itu tidak punya produk sendiri, mereka cuma menyediakan services. Bisnis services itu sangat susah untuk dilakukan scale-up, sebab sangat tergantung pada orang.
Lalu, di IBM, saya lihat ada produk dan services. Saya menyebutnya asset based business. Tapi, yang saya tidak suka, kedua model bisnis tersebut mengharuskan mencari customer setiap tahunnya. Capek banget kan ya. Lantas, saya berpikir bagaimana kalau membangun model bisnis yang pendapatannya dari transaksi.
Pada 2003, kami sudah bilang harus punya recurring revenue. Maka, kami bangun Jatis Mobile untuk fokus di industri telekomunikasi (telko).
Ketika itu, perusahaan-perusahaan telko ingin membangun value added services, tapi mereka tidak punya infrastruktur untuk membangunnya, ya kami bantu.
Contohnya seperti mengembangkan platform SMS one time password (OTP), gateway, dan lain-lain. Itu dilakukan agar menghasilkan recurring revenue. Sekarang orang-orang bilang software as a services, kami 2003 sudah memulainya.
Sudah ada Jatis Group, tapi kenapa Anda mesti mendirikan Indivara Group yang saat ini menaungi Jatis Group? Apakah ada kaitannya dengan masuknya investasi dari Unisys, Jepang?
Oh, tidak. Sebelum Unisys masuk kami sudah mendirikan Indivara Group. Sejarahnya sih simpel. Banyak orang yang tidak tahu jika perusahaan yang mendirikan e-commerce pertama di Indonesia itu sebenarnya Jatis. Pada 1998, kami mendirikan e-commerce yang sama persis seperti Amazon. Namanya Sanur.
“Saya dengan bangga bisa ngomong begini sekarang, ‘Kami punya consolidated revenue lebih besar deh dari Bukalapak.’ Hahaha… Dan, setidaknya kami sudah untunglah!”
Waktu itu sempat dikenal. Cuma saya mau mempunyai bisnis itu yang recurring kan. Bayangkan, ketika itu, tiga bulan saya cuma menjual tiga buku. Bagaimana bisa hidup? Sebab, pertama, ketika itu logistiknya susah; kedua, tidak ada payment gateway; ketiga, konektivitasnya tidak ada.
Yang ada sekarang ini sebenarnya kami sudah pernah bangun semua. Pada 1998, kami punya Easy Health yang kayak Halodoc. Bayangkan. Jadi, yang ramai-ramai ada sekarang ini kami sudah pernah buat. Pada 1998, kami buat seperti itu, kayak orang gendheng.
Baca Juga: Cushman & Wakefield: Pasar Perkantoran Jakarta Terimbas Pandemi
Terus kami lihat, ini tidak mungkin. Lalu, pada 2015 kami merasa pasar mulai mature, sehingga kami ingin mulai kembali ke platform bisnis. Tapi, kalau datang ke customer, customer bingung sebenarnya Jatis ini spesialisasinya apa? Tidak ada pilihan, kami mesti mendirikan perusahaan baru.
Jadi, di Indivara Group itu ada pengembangan platform bisnis, lalu ada enabler business yang ditangani oleh Jatis Solutions, juga ada platform-platform lain yang kami bangun. Cuma begitu saja. Saya itu dalam membangun bisnis sangat-sangat praktikal. Saya bukan orang yang sangat visioner, tidak, pokoknya praktikal saja.
Tapi, dengan memilih nama “Jati” saja itu sudah visioner…
Hahaha… Visioner tapi sering kali kecepatan, waktunya belum tepat. Bayangkan, kami suah punya platform Easy Health pada 2003. Padahal, zaman itu belum ada internet segala, platform tersebut sudah terkoneksi dengan rumah sakit, klinik, lebih jago dari yang ada sekarang. Teknologinya setengah mati kan membangunnya zaman itu, kami sudah bangun lho.
Selain waktu yang belum tepat, apa alasan lain yang membuat Jatis Group menghentikan platform-platform yang pernah dibangun seperti e-commerce dan e-health? Padahal, kalau diteruskan kan akan menjadi yang terbesar saat ini.
Tayangnya belum selesai nih. Bukannya saya sombong ya, platform kami lebih besar daripada yang dianggap terbesar saat ini. Cuma orang tidak tahu saja. Sebab, saya tidak suka dengan model B2C. Saya sukanya B2B2C.
Sebab, B2C itu brand building-nya mahalnya bukan main. Akuisisi customer-nya mahalnya bukan main. Jadi, platform kami tidak kelihatan di pasar tapi ada di belakang perusahaan-perusahaan besar. Contohnya AstraPay yang baru diluncurkan Astra Group, itu teknologi kami.
Memang tidak kelihatan tapi kami dapat revenue per transaction. Lebih baik begitu kan? Kami punya platform e-commerce yang bernama O2O Warung Platform mungkin jauh lebih besar daripada Bukalapak. Bukalapak sudah go public ya, omzet Rp400 miliar, rugi Rp7 triliun. Tapi, mereka memang bakar duit kan.
Kami punya O2O Warung Platform yang tahun lalu gross merchandise value (GMV)-nya Rp2,1 triliun, tahun ini targetnya Rp4,8 triliun. Tapi, orang tidak tahu di belakangnya ada Indivara Group karena kami tidak muncul. Dan, satu lagi, kami 100% Indonesia. Produknya pun 100% dibangun di Indonesia oleh orang Indonesia.
Apa bedanya dengan perusahaan-perusahaan tempat Anda bekerja dulu seperti Andersen Consulting dan IBM Consulting?
Andersen Consulting dan IBM Consulting lebih ke B2B, Google lebih ke B2C, sedangkan Indivara Group menganut B2B2C. Jadi, kami itu mengerti enterprise, tapi kami juga paham consumer market. Cuma kami tidak mau menangkap customer dengan gayanya mereka. Jadi, kami itu hybrid.
“Kami punya O2O Warung Platform yang tahun lalu gross merchandise value (GMV)-nya Rp2,1 triliun, tahun ini targetnya Rp4,8 triliun.”
Contohnya, biasanya semua perusahaan besar bilang ingin menggarap pasar tapi tidak punya platform, tidak tahu bagaimana menangkap pelanggan. Perusahaan telko tahu pasarnya tapi tidak tahu membangun infrastruktur value added services-nya. Kami tawarkan kerja sama dengan mereka. Jadi, kami itu play store-nya B2B.
Bedanya lagi, kami dengan mereka memiliki hubungan bukan sekadar vendor, melainkan mitra. Ekosistem mereka bisa kami tingkatkan, teknologi kami bisa mereka jalankan. Menurut saya, di pasar belum ada yang mengerjakan ini.
Kalau begitu, berapa jumlah pelanggan Indivara Group saat ini?
Jatis Mobile saja memproses SMS sebanyak 172 juta per bulan untuk one time password (OTP) dan lain-lain. Itu belum termasuk layanan platform lainnya. Customer-nya berapa, tidak tahu deh. Hahaha…. Yang pasti, bank-bank besar, perusahaan-perusahaan telko, dan perusahaan-perusahaan besar lainnya adalah pelanggan kami.
Tapi, kalau dihitungnya secara B2B?
Balik lagi, kalau dulu memang kami bilang capex model, jual putus. Tapi, mereka sekarang tidak mau sistem jual putus. Saya dengan bangga bisa ngomong begini sekarang, “Kami punya consolidated revenue lebih besar deh dari Bukalapak.” Hahaha… Dan, setidaknya kami sudah untunglah.
Baca Juga: Colliers: Over Supply Pasar Perkantoran Sudah “Nemen” Sekali
Di antara pasar mancanegara yang terdekat, kenapa Jatis Group baru masuk ke Singapura dan Filipina. Thailand, Vietnam, dan China yang pasarnya sangat besar kok belum disasar?
Indochina atau Vietnam dan China itu belum kami sasar, tapi rasanya sudah very-very to late. Sudah telat. Kami dulu pernah masuk ke Thailand, bahkan kami sudah buka dua kali di Thailand, lho… Tapi, entah kenapa kami belum bisa menaklukkan pasar sana. Tadinya saya ingin mencoba Myanmar, eh di sana malah terjadi kerusuhan.
Kalau menurut Anda, apa persoalannya sehingga sulit menaklukkan pasar Thailand?
Ini personal assessment ya. Ada dua hal: satu, mungkin waktu pertama kali masuk kami masih sangat kecil, jadi produk-produk kami belum mature. Kedua, orang Thailand itu tidak mau dijajah. Sebab, dari semua negara yang tidak pernah dijajah itu mereka. Untuk bisa sukses di sana harus merekrut atau bermitra dengan orang sana dan mesti diserahkan ke dia. So far, kami belum menemukan mitra yang tepat.
Sampai sekarang Indivara Group milik Anda atau ada pemegang saham lain seperti Canal Globe, anak perusahaan Unisys?
Canal Globe itu di Jatis. Indivara Group sampai sekarang milik saya dan keluarga. Di Jatis pun, meski bermitra dengan Unisys melalui anak perusahaannya Canal Globe, kami mayoritas. Kami suka mayoritas supaya nilai-nilai perusahaan masih tetap di bawah kendali kami.
Indivara Group sudah cukup besar, solid, dan untung. Tidak ingin go public?
Ingin sih. Mungkin kami akan mencoba dengan anak perusahaan terlebih dahulu, Jatis Group misalnya.
Terakhir, apa target besar Indivara Group setidaknya dalam lima tahun ke depan?
Simpel saja sih, tidak tahu bisa diraih atau tidak, tapi insyaallah bisa. Kan Amerika punya Google, Facebook; China punya Tencent, Alibaba. Indivara Group bisa jadi yang terbesar di pasar platform enterprise Indonesia sudah cukup bagi saya. Yang benar-benar dikembangkan oleh orang lokal ya, bukan dikerjakan oleh orang India dan lain sebagainya.●
Tekan “tombol lonceng” di sisi kiri layar Anda untuk mendapatkan notifikasi berita terbaru dari TechnoBusiness lebih cepat.
Simak berita-berita kami dalam bentuk video di kanal TechnoBusiness TV. Jangan lupa berikan atensi Anda dengan “like, comment, share, dan subscribe”.