TechnoBusiness News
Indonesia Jadi Destinasi Wisata Medis Lasik Dunia, Mampukah?
Kementerian Pariwisata menunjuk SILC Lasik Center Jakarta untuk menyukseskan wisata medis lasik.

● Market Research Future memperkirakan wisata medis global menciptakan pasar senilai US$93,9 miliar pada 2030.
● Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain penting di segmen wisata medis lasik.
Jakarta, TechnoBusiness ID ● Selama ini, banyak orang kaya di Asia Tenggara, terutama Indonesia, memilih berobat ke Singapura atau Penang, Malaysia. Kedua kota itu memang telah berhasil menjadi destinasi wisata medis terkemuka di kawasan ini.
Positioning Singapura dan Penang dinilai tepat mengingat pasar wisata medis, yang diramaikan oleh mereka yang bepergian dengan niat mencari tempat pengobatan—tradisional maupun modern—yang cocok, terus tumbuh dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Market Research Future, wisata medis diperkirakan menciptakan pasar senilai US$93,9 miliar pada 2030, sehingga menjadikannya salah satu sektor pariwisata dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
Melihat besarnya potensi itu, akhirnya Indonesia pun meliriknya. Kementerian Pariwisata resmi meluncurkan program Indonesian Health Tourism, program strategis untuk menarik wisatawan medis mancanegara ke Indonesia.
Lebih detail lagi, Indonesia akan mengincar wisata medis mata, khususnya lasik (Laser Assisted In Situ Keratomileusis). Kementerian Pariwisata telah menunjuk SILC Lasik Center, klinik kesehatan mata yang berlokasi di Jakarta, untuk menjadi mitra resmi wisata medis lasik.
“Perawatan populer di Asia kini tidak hanya sebatas operasi jantung atau kosmetik, tetapi juga mencakup perawatan penglihatan seperti Lasik,” ungkap Dr. Sophia Pujiastuti, SpM(K), MM, pendiri SILC Lasik Center di Jakarta, Selasa (15/4).
Menurutnya, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain penting di segmen wisata medis lasik. Efek ekonomi dari wisata medis cukup besar. Dr. Sophia mengatakan, wisatawan medis rata-rata membelajakan 2-3 kali lebih besar daripada wisatawan konvensional.
Selain biaya perawatan kesehatan, pengeluaran mereka juga termasuk biaya kunjungan ke destinasi-destinasi wisata tambahan, akomodasi, dan jasa pendamping atau penerjemah selama masa perawatan di negara tujuan.
Artinya, wisata medis bukan hanya menguntungkan rumah sakit atau klinik semata, melainkan juga perhotelan, transportasi, pusat wisata, pusat belanja, industri kreatif, dan jasa-jasa lainnya.
Meski begitu, biaya tetap menjadi pertimbangan. Merujuk pada laporan Medical Tourism Association, meskipun aspek kualitas dan kepercayaan mendominasi keputusan pasien, sebanyak 28,8% pasien (yang menjadi responden) menyatakan biaya turut memengaruhi pilihan mereka.
Indonesia melirik wisatawan medis mancanegara lewat wisata medis lasik. SILC Lasik Center yang dipercaya Kementerian Pariwisata menjalankan program itu memang tidak asing dengan penanganan pasien dari berbagai negara, seperti Rusia, Australia, hingga Prancis.
Julien Pham, pasien asal Prancis yang sudah menderita rabun jauh selama 20 tahunan, mengatakan, “Mata saya tidak dapat menoleransi lensa kontak. Saya memilih SILC Lasik Center Jakarta untuk operasi lasik. Mata saya yang tadinya agak kabur, sekarang menjadi jelas. Semuanya berjalan lancar.”●
—Intan Wulandari, TechnoBusiness ID