Jeffrey Bahar
Jurus Maut BlackBerry
Published
8 years agoon
Oleh Jeffrey Bahar
Group Deputy CEO Spire Research and Consulting
●●●
Ketika hampir semua orang menenteng ponsel Nokia, diam-diam Research in Motion (RIM) terus melakukan riset untuk mengembangkan teknologi pager yang dimilikinya. Alhasil, pada 1999 perusahaan asal Kanada itu memperkenalkan pager BlackBerry yang mampu menerima e-mail dari server Microsoft Exchange.
Sebuah kemajuan yang sangat berarti dalam industri telekomunikasi, yang menjadi jalan bagi BlackBerry untuk menggarap pasar korporasi. Sejak itu, banyak perusahaan yang menggunakan perangkat BlackBerry 957 untuk mempermudah surat-menyurat dengan karyawannya atau pun perusahaan lain.
Merek BlackBerry makin populer setelah meluncurkan BlackBerry Pearl 8100 untuk konsumen. Berbeda dengan perangkat-perangkat keluaran pemimpin pasar (Nokia) yang masih berupa ponsel fitur (feature phone), BlackBerry Pearl menawarkan fungsi multimedia seperti kamera, walau beresolusi rendah.
Kekuatan BlackBerry tak lain juga berkat layanan instant messaging-nya, BlackBerry Messenger (BBM) yang eksklusif. Pengguna hanya bisa mengirimkan pesan ke pengguna lain setelah keduanya berbagi personal identity number (PIN). BBM dirasa lebih menarik karena pengiriman pesannya berdasarkan data internet yang dibayarkan secara paket, bukan per pesan seperti SMS.
Konsumen, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, rela membeli ponsel baru yang penting mirip BlackBerry—jika tak sanggup membeli BlackBerry yang lebih mahal.
Papan ketiknya yang QWERTY menjadi keunggulan lain. Saking trennya, yang jika menggenggam BlackBerry seolah lebih berkelas, ponsel-ponsel buatan China pun menduplikasi model perangkat asal Kanada itu. Konsumen, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, rela membeli ponsel baru yang penting mirip BlackBerry—jika tak sanggup membeli BlackBerry yang lebih mahal.
Pendapatan RIM pun terus meroket. Jika pada 2002, penjualan RIM membukukan US$294 juta, tiga tahun kemudian sudah melesat menjadi US$1.350 juta. Kinerja keuangan RIM semakin berlipat hingga pada 201o mencatatkan penjualan sebesar US$14,95 miliar dan US$19,9 miliar pada 2011.
Sejak itu, pamor BlackBerry, sang pengusik Nokia yang bersistem operasi Symbian, mulai meredup tersalip oleh ponsel-ponsel pintar bersistem operasi Android. Samsung, merek ponsel asal Korea Selatan, yang sebelumnya tidak diperhitungkan, justru melejit menggantikan kepopuleran “Si Hitam” tersebut. Sehingga pangsa pasar BlackBerry yang sudah 18,7% pada 2010, kembali menurun menjadi 11,7% pada 2011.
Penurunan kinerja BlackBerry bagaikan mobil tanpa rem alias blong.
Penurunan kinerja BlackBerry bagaikan mobil tanpa rem alias blong. Segala upaya dilakukan oleh manajemen RIM untuk menghentikan kemerosotan penjualan, tapi tak berhasil. Pada 2012, nilai saham tidak lebih dari US$14, jauh di bawah US$140 pada 2008. Pada kuartal satu 2012, RIM rugi bersih US$581 juta, dan sahamnya sudah berkurang menjadi hanya US$9,01.
BlackBerry 10 yang digadang-gadang menjadi “obat mujarab” kejatuhan BlackBerry tak juga berhasil menghentikan penurunan kinerja. Ujung-ujungnya pada September 2013 RIM mesti jatuh ke tangan beberapa investor baru yang dipimpin Fairfax Financial Holdings, pemegang 10% saham RIM, senilai US$4,7 miliar.
Penyelamatan yang Menarik
Akuisisi RIM, yang kemudian namanya diganti menjadi BlackBerry Limited, juga tak membuat perusahaan itu sembuh dari keterpurukan. Sehingga perusahaan mengambil sikap untuk membuka aplikasi BBM-nya ke semua sistem operasi. Sayangnya, aplikasi serupa seperti WhatsApp dari WhatsApp Inc, Amerika Serikat, yang menautkan berdasarkan kontak ponsel pengguna semakin agresif.
Belakangan, BlackBerry mengeluarkan jurus mautnya, boleh dibilang untuk sekadar bertahan. Sebab, pangsa pasarnya semakin lama semakin hilang dan kini tinggal 1%. Jurus maut itu yaitu memberikan keleluasaan kepada mitranya di berbagai negara untuk menggunakan paten-patennya. Untuk perangkat kerasnya, BlackBerry memberikan lisensi kepada PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk. yang sudah menghasilkan BB Merah Putih.
Lisensi produk perangkat keras BlackBerry tidak hanya diberikan kepada perusahaan Indonesia, pasar terbesar BlackBerry, tapi juga perusahaan-perusahaan lokal di India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Nepal. Izin itu pun diberikan kepada perusahaan yang lebih besar cakupannya, yakni TCL Corp, asal China.
Jika jurus maut BlackBerry ini gagal, itu berarti jurus tersebut justru tak ubahnya “jurus mempercepat maut BlackBerry”.
Pertanyaannya, apakah jurus maut BlackBerry itu akan berhasil menyelamatkan kinerja perusahaan? Untuk sementara waktu jelas bisa, karena ada pemasukan dari pembayaran lisensi yang tidak sedikit. Tapi, untuk jangka panjang belum tentu. Sebab, pemegang lisensi pasti juga akan belajar untuk mengembangkan teknologi serupa sendiri atau beralih ke teknologi yang sama dengan lisensi yang lebih murah.
Apakah merek BlackBerry begitu kokoh saat ini? Rasanya tidak. Ini berbeda dengan eksklusivitas iPhone buatan Apple Inc. yang lebih dipengaruhi oleh faktor gaya hidup. Ini juga semakin jauh berbeda dengan pengusung-pengusung Android yang terus berlomba-lomba melakukan inovasi. Seperti kita ketahui, para pengguna BBM pun kian hari kian meninggalkannya. Jadi, jika jurus maut BlackBerry ini gagal, itu berarti jurus tersebut justru tak ubahnya “jurus mempercepat maut BlackBerry”.●
Data TechnoBusiness
You may like
-
Permata Baru di Industri Pelabuhan
-
BlackBerry dan LG Sepakat Perluas Teknologi untuk Kendaraan Otonom
-
Berkah Negeri Seribu Momen
-
Kalah Bersaing, BlackBerry Messenger Ditutup Mulai 31 Mei
-
Wow, Pendapatan GrabFood Tumbuh 45 Kali Lipat
-
Demi Kembangkan BlackBerry Spark, BlackBerry Akuisisi Cylance
-
Penjelasan Spire Research Tentang Riset “Fraud” Go-Jek dan Grab
-
80% Pengguna Tak Percaya Pada Perangkat Pintarnya
-
Indonesia di Mata Investor Jepang