Spire TechnoBusiness Lunch ● Perusahaan-perusahaan e-commerce menjadi sorotan setelah yang ditawarkan ternyata lebih banyak barang impor ketimbang barang lokal. Anggapan bahwa begitu ada e-commerce, barang dari China, India, Vietnam, dan lain sebagainya, langsung membeludak pun tak terhindarkan.
Nah, benarkah e-commerce menjadi “sarang” dan pemicu membeludaknya barang impor? Mengapa perusahaan-perusahaan e-commerce memilih memperbanyak barang impor? Apakah barang lokal tak menarik untuk dipasarkan?
Dalam acara Spire TechnoBusiness Lunch di restoran Meradelima, Jakarta, pertengahan Februari lalu, Hadi Kuncoro, Group CEO PowerCommerce.Asia, perusahaan omnichannel-tech enable sales and supply chain management terkemuka di Asia, membeberkan jawabannya.
Untuk mengetahuinya, silakan simak kutipan percakapan tim redaksi TechnoBusiness Indonesia bersama Hadi Kuncoro berikut ini:
Advertisement
Salah satu yang disorot dari kehadiran e-commerce adalah maraknya barang impor. Semakin unicorn atau bahkan decacorn e-commerce itu justru semakin memperbanyak barang impor yang ditawarkan ketimbang barang lokal. Apa tanggapan Anda?
SPIRE TECHNOBUSINESS LUNCH bersama Hadi Kuncoro, Group CEO PowerCommerce.Asia, di restoran Meradelima, Jakarta, pada pertengahan Februari 2020.
E-commerce unicorn berlomba-lomba mendatangkan produk dari China, India, Vietnam, dan lain sebagainya itu begini hitung-hitungannya.
E-commerce memilih memperbanyak barang impor itu karena mereka dipaksa untuk menaikkan revenue atas GMV.
E-commerce memilih memperbanyak produk impor itu karena mereka dipaksa untuk menaikkan revenue atas gross merchandise value/GMV (nilai akumulasi penjualan seluruh barang di e-commerce dalam jangka waktu tertentu).
Sebab, untuk menarik investasi, revenue-nya harus naik.
Salah satu cara mereka untuk menaikkan revenue adalah dengan memperbanyak produk. Masalahnya, produk Indonesia, kan, sedikit. Terbatas.
Indonesia, kan, bukan production center. Maka, didatangkanlah produk-produk murah yang macam-macam itu dari China, India, dan Vietnam agar GMV mereka naik.
Advertisement
Jadi, cara e-commerce menaikkan revenue untuk kebutuhan valuasi itu dengan memperbanyak barang yang ditawarkan?
Iya, makanya e-commerce kemudian masuk ke produk tersier. Setelah masuk ke produk tersier, masuk ke produk sekunder. Itu sebabnya, valuasi e-commerce unicorn naik.
Valuasi diperlukan untuk mendapatkan fundraising yang lebih besar.
Karena tuntutan menaikkan revenue untuk keperluan valuasi, apa yang terjadi, e-commerce bukan dagang (produk) fisik lagi.
Yang ada sekarang diramaikan pula oleh Payment Point Online Bank (PPOB), bisa bayar listrik, telepon, dan lain sebagainya.
Jadi, semua masuk karena itulah modal valuasi terbesar dari GMV. Maka, tak heran jika ada unicorn yang lantas mengakuisisi Tiket.com, Loket.com, dan sejenisnya.
Advertisement
Sebab, bagi mereka, kan, perlu cara bagaimana menaikkan GMV untuk mendongkrak valuasi. Valuasi diperlukan untuk mendapatkan fundraising yang lebih besar.
[nextpage]
Artinya, memasarkan barang impor tidak bisa dihindari?
Tidak bisa karena e-commerce butuh barang yang banyak, sementara di Indonesia tidak ada.
HADI KUNCORO, Group CEO PowerCommerce.Asia
Usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia tidak bisa?
Memang ada UKM di Indonesia membuat aksesori gadget? Enggak ada. Peniti dan jarum pentol saja mereknya pakai bahasa China semua.
Kalaupun ada, begitu dibutuhkan skala besar, kapasitas produksinya problem, kualitasnya problem, harganya pun mahal. Sementara barang dari China dengan kapasitas yang besar menjadi murah.
Advertisement
Sebetulnya kalau dibilang gara-gara e-commerce barang dari luar negeri jadi tumplek (marak), tidak. Dari dulu barang dari China itu sudah ada di mana-mana, termasuk di Tanah Abang.
Enggak kelihatan karena mereka memakai importir dengan sistem borongan. Ada dulu di Indonesia baru dibeli. Jadi, seolah-olah produk lokal.
Sekarang, kan, beli satuan dari China bisa. Bebas pajak untuk harga tertentu. Crossborder dari luar negeri. Hasilnya, harganya bisa lebih murah.
Kalau dengan kapasitas produksi yang sama, apakah tetap lebih menarik impor daripada memproduksi di dalam negeri?
Begini, saya pernah punya kalkulasi untuk klien. Dia ingin memproduksi pulpen. Di Indonesia, harga produksinya Rp10.000. Tapi jika diproduksi di China, dibuat sesuai yang kami pesan dengan minimum order sekian, sampai di gudang kami harganya hanya Rp4.000.
Advertisement
Agar enak orang berkunjung ke Tokopedia, Bukalapak, Lazada, semua harus ada.
Kalau pun kena duty 100%, masih Rp8.000. Masih untung banyak. Tapi, enggak puyeng mikirin buruh yang demo melulu, upah minimumnya naik terus, ada pekerja yang sakitlah, pajaklah, didatangi LSM (lembaga swadaya masyarakat)-lah.
Dengan begitu, istilahnya ngapaingw puyeng, mending jadi trader ajalah. Akhirnya apa, semakin susah Indonesia menjadi production center.
Mau enggak mau begitu: agar enak orang berkunjung ke Tokopedia, Bukalapak, Lazada, semua harus ada. Murah-murah lagi, dari China, dari India, dari Vietnam. Lha, kalau kita punya produk cuma segitu-gitunya, kan, habis. Mau beli apa lagi? Itu, kan, menjadi tidak menarik.
Maka, untuk menaikkan GMV yang diperlukan demi menaikkan valuasi, salah satu caranya adalah mendatangkan produk yang banyak, sekalipun produk itu berasal dari negara lain.
Untuk menaikkan GMV yang diperlukan demi menaikkan valuasi, salah satu caranya adalah mendatangkan produk yang banyak.
Tapi, kan, sudah ada Fasilitas Logistik Berikat (FLB) E-commerce dan pemerintah juga telah menurunkan de minimis value (nilai pembebasan bea masuk) impor produk ritel dari US$75 menjadi US$3…
Skema impor yang masuk ke PLB e-commerce akan bagus bila juga dipakai sebagai fasilitas untuk mempermudah impor bahan baku (raw material).
Advertisement
Langkah itu penting demi memperkuat produksi produk-produk lokal, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor. Apalagi, setelah pemerintah menurunkan nilai de minimis value impor produk ritel dari US$75 menjadi hanya US$3.●