TechnoBusiness Exclusive
Colliers: Over Supply Pasar Perkantoran Sudah “Nemen” Sekali
Bagus Adikusumo, Senior Director Colliers International Indonesia, menyatakan imbas pandemi terhadap pasar perkantoran parah sekali.
Published
3 years agoon
Jakarta, TechnoBusiness Exclusive ● Setelah perhotelan dan ritel, salah satu subsektor properti di Indonesia yang terimbas pandemi cukup parah adalah subsektor perkantoran.
Baca Juga: Cushman & Wakefield: Pasar Perkantoran Jakarta Terimbas Pandemi
Bagus Adikusumo, Senior Director Colliers International Indonesia, mengungkapkan bahwa begitu perekonomian nasional tumbuh, banyak pengembang yang membangun perkantoran.
Namun, begitu proyeknya selesai, perekonomian sedang tak bergairah, bahkan diperparah dengan pandemi COVID-19 yang memaksa semua karyawan bekerja dari rumah (work from home).
Apa akibatnya? “Berat… berat… I have to say, berat!” kata Adi kepada Purjono Agus Suhendro dari TechnoBusiness Indonesia dalam TechnoBusiness Exclusive pada Kamis (5/8) lalu.
Baca Juga: Mengungkap Strategi B2B Customer Loyalty Program XL Axiata
Untuk mengetahui seperti apa pandangan detail Bagus Adikusumo dari Colliers International Indonesia terkait imbas pandemi terhadap pasar perkantoran di Tanah Air? Berikut hasil wawancaranya:
Seluruh studi properti mengungkapkan pasar perkantoran global dan lokal terpengaruh pandemi. Bisa Anda jelaskan seperti apa sebenarnya pengaruh pandemi terhadap pasar perkantoran, khususnya di Indonesia?
Sebenarnya begini, kalau dari awal mengikuti pasar perkantoran, pasar perkantoran itu kan mengalami booming antara 2011-2014. Selama tiga tahun itu, pasar perkantoran berkembang luar biasa. Harga rental naik cukup signifikan. Harga strata title juga naik tinggi. Tanah-tanah juga naik tinggi.
Pada saat itu, developer banyak yang memutuskan untuk membangun gedung. Termasuk developer-developer asing masuk ke Indonesia, karena berita booming itu sampai ke Asia Pasifik. Mereka membuka peluag ke Asia Tenggara. Mereka melihat Vietnam, Manila, Jakarta.
Peluang pasar perkantoran Jakarta temasuk yang sangat menjanjikan. Kan, negara kita selalu stabil dan pertumbuhan ekonomi kita rata-rata 5% per tahun. Itu memberikan dampak positif, karena “Oh, growth-nya bagus dan stabil.” Di situ banyak developer asing masuk dan membangun gedung perkantoran.
Jadi, 2011-2014 perekonomian kita tumbuh, mining naik, oil and gas bagus, plantation bagus, consumer products bagus, sehingga permintaan kantor juga melejit tinggi. Akibatnya, okupansi naik tinggi, waktu itu sampai 97%, harga rental naik. Karena itu, semua lantas membangun gedung perkantoran.
Antara 2016-2018, sampai sekarang, suplai baru itu masuk ke pasar. Tapi, ternyata permintaan ruang kantor kita mulai terkoreksi karena bisnis-bisnis yang tadinya gemilang sudah mulai turun. Minyak turun, pertambangan turun.
Mulai kapan tren penurunan itu terjadi?
Pada 2016-2017 itu sudah mulai tren turun. Sudah mulai turun.
Jadi, begitu proyek-proyek perkantoran baru selesai, bisnis mulai turun?
Iya.
Apakah itu sudah sesuai siklusnya?
Waktu itu harga minyak anjlok dari US$120 menjadi di bawah US$40 per barel. Begitu-begitu. Batubara juga dari berapa ke berapa.
Bahkan sempat minyak tak ada harganya ya…
Iya, betul. Jadi, dari investor-investor besar membeli properti tanpa ditawar sehingga harganya melejit luar biasa, tiba-tiba pertumbuhan ekonomi terkoreksi dan otomatis pasar properti terkena imbasnya. Sebab, antara pertumbuhan ekonomi dengan bisnis properti itu korelasinya sangat erat, sangat tinggi.
Namun, suplai-suplai ruang perkantoran tak tertahankan. Kemudian kita mulai merasakan over supply dari 2017-2018. Memang pada 2019 mulai ada perusahaan-perusahaan melakukan ekspansi, termasuk perusahaan-perusahaan teknologi.
Perusahaan-perusahaan e-commerce mulai berkembang, coworking space yang diperkenalkan pada 2015 mulai masuk ke Jakarta setelah London, Tokyo, dan Asia Pasifik lainnya. Sudah agak membaik, eh tidak ada yang menyangka COVID-19 muncul.
Lalu…
Jadi, sudah over supply, pandemi masuk, ekonomi kita minus. Pada akhir 2020 hingga sekarang harga rental terkoreksi cukup dalam, okupansi jatuh, walau masih sedikit di bawah 80%. Tingkat hunian di gedung perkantoran CBD Jakarta pada 2021 itu 79%, tapi pada 2022 kemungkinan akan turun lagi sampai ke 75%.
Baca Juga: Strategi B2B Customer Loyalty Program Metrodata Electronics
Perkiraannya seperti itu?
Iya, perkiraannya seperti itu. Harga rental juga (turun). Karena pertumbuhan ekonomi kita minus, permintaan ruang kantor juga turun. Tingkat hunian perkantoran drop. Sehingga, banyak gedung-gedung yang baru mulai dibangun pada 2014-2016, begitu selesai pada 2019-2021 tepat ketika tingkat okupansi rendah.
Ada beberapa ruang perkantoran yang bahkan tingkat okupansinya berada di bawah 50%. Nah, kalau tingkat okupansi rendah, sebagai developer perlu segera menaikkan tingkat hunian. Tapi, harga rental tidak bisa tinggi. Otomatis harga rentalnya di-drop supaya bisa mengejar tingkat hunian.
Jadi, bisnis perkantoran itu begitu, ada dua pilihan: tetap mempertahankan harga rental tapi kosong atau menaikkan tingkat hunian yang berarti rentalnya harus fleksibel. Biasanya developer mengejar yang kedua supaya dapat okupansi 70% dulu.
Kenapa harus 70%?
Karena kalau sudah 70% okupansinya itu bisa meng-cover 100% operational cost dari seluruh tenant. Begitu konsepnya. Gedung-gedung perkantoran yang masih di bawah 50% okupansinya ramai-ramai mengejar ke situ sekarang, supaya tidak keluar kocek lagi untuk operasional gedung.
Kalau begitu harga rentalnya turun berapa persen?
Harga rental ruang perkantoran itu tergantung dari ukuran rental itu sendiri. Harga rental dari pra-COVID-19 sampai sekarang ini mungkin sudah turun 22-45%. Perkiraan analisis kami segitu.
Turunnya hampir separuh?
Hampir separuh. Jadi, kalau besar banget ukurannya (gedung perkantoran itu), bisa turun sampai 45%. Tapi, kalau ukurannya di bawah 1.000 meter persegi (m2), 1.500 m2, mungkin 20%-an.
Kalau misalnya menggunakan dana yang sama bisa dapat dua kali lipat areanya?
Iya, bisa mengambil satu lantai dengan harga setengah lantai. Tapi, enggak ada yang melakukan itu karena harus bekerja dari rumah, work from home (WFH). Jadi, perkantoran itu tidak hanya “dihajar” oleh faktor-faktor tadi, tapi juga WFH.
Kami ingin mengonfirmasi kembali, WFH sangat berpengaruh terhadap permintaan pasar perkantoran saat ini?
Sangat. Jadi, sebenarnya dampaknya lebih ke suplai, bukan ke permintaan. WFH sudah berjalan 1,5 tahun lebih, sementara ada kontrak sewa ruang perkantoran. Bagi penyewa, kontrak 3-5 tahun kan harus dihormati, harus diikuti, tapi ruang kantornya tidak terpakai.
Kalau sudah begitu, tak terhindari mulai renegosiasi dengan landlord, manajemen gedung. Landlord ada yang paham, cari compromise solution. Artinya apa? Penyewa ambil ruang 2.000 m2 terus tidak dipakai semua. Yang dipakai paling hanya 5-10%. Akhirnya, penyewa merasa perlu mengurangi ruang sewanya dari 2.000 m2 menjadi hanya 1.000 m2, misalnya.
Masalahnya, masih terikat kontrak, kan. Bisa jadi, landlord-nya bilang, “Oke, jangan 1.000 m2, tapi kurangi 500 m2 saja jadi 1.500 m2.” Begitu misalnya. Tapi, dengan turun 500 m2, ada penalti yang mesti dibayar, misalnya berapa. Jadi, ada kompromi.
Kalau merujuk pada isi kontrak, sewa itu secara umum kalau mengurangi 500 tapi masih dalam masa kontrak, penyewa harus membayar sampai habis. Kontrak kan begitu bunyinya. Tidak bisa terminate atau reduce space di tengah jalan. Tidak bisa. Tapi karena keadaan yang luar biasa, renegosiasi atau restrukturisasi ini tidak terhindari, terutama yang terkena imbas berat.
Saat ini, arahnya hampir mayoritas melakukan renegosiasi?
Tidak terhindari itu. Tidak terhindari. Ada yang berhasil, ada yang tidak, tergantung landlord-nya mau atau tidak.
Banyak analis memprediksi WFH akan menjadi tren baru, setidaknya hybrid. Fenomena itu akan memperlambat recovery pasar perkantoran?
Iya. Sebab, tidak ada yang bisa tahu pandemi ini sampai kapan, WFH ini sampai kapan. Ada yang bilang seterusnya, ada yang bilang pandemi sudah berakhir ya balik lagi ke kantor. Tapi pengurangan-pengurangan space tidak bisa dihindari.
Jadi, WFH membuat pasar perkantoran menjadi lebih lama recovery-nya. Sudah over supply dari awal, lalu terjadi pandemi dan para penyewa banyak yang melakukan reduce space.
Baca Juga: Strategi B2B Customer Loyalty Program Biznet
Guncangannya bertubi-tubi jadinya ya?
Berat… berat… I have to say, “Berat.” Tapi, tidak seberat 1998. Tidak seberat 1998.
Kalau pada 1998 kan hanya krisis finansial, sedangkan sekarang krisis multidimensi karena pandemi. Tapi, tidak seberat krisis 1998?
Tidak seberat 1998. Saya di bisnis perkantoran ini sudah sejak 1996. Saya merasakan pada 1998 harga rental bisa di bawah Rp80.000 per m2, sudah termasuk service charge. Jadi, sudah best rent tambah service charge hanya Rp80.000 waktu itu.
Yang penting ada yang menyewa?
Iya. Kalau sekarang ini tidak ada yang turun sampai Rp80.000 all in. Rata-rata separah-parahnya Rp200.000 all in. Itu sudah parah.
Berarti sebetulnya pasar perkantoran mau tumbuh tapi direm oleh pandemi?
Iya, karena pandemi berakibat pertumbuhan ekonomi kita terkoreksi terus.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal 2/2021 sudah 7,07% lho…
Iya. Ya kita berharap itu akan mendongkrak pasar perkantoran dan properti secara keseluruhan. Peran pemerintah juga lumayanlah, suku bunga diturunkan, PPN dibebaskan. Ada beberapa hal yang mereka lakukan cukup mendongkrak bisnis properti secara umum.
Perkantoran ini susahnya kan gini, kita sewa 1.000 m2, tidak dipakai pun tetap harus dibayar penuh karena ada kontraknya. Sementara sales perusahaan drop. Tentunya memusingkan.
Kalau ada krisis, perkantoran juga yang paling pertama terkena dampaknya ya…
Waktu 1998 berat juga pasar perkantoran. Kalau sekarang ini pasar perhotelan dan ritel yang paling parah. Perkantoran ketiga.
Prediksi Anda, apakah pasar perkantoran Jakarta dalam lima tahun ke depan sudah bisa pulih?
Sudah pulih, dong.Kan begini, perkantoran yang sekarang masih dibangun akan selesai. Perkiraan saya, tidak ada developer yang membangun gedung perkantoran lagi, tidak mungkin. Kalau ada, itu sifatnya spekulatif, tidak mungkin.
Developer hanya membangun kalau ada penyewanya atau mau dipakai sendiri. Tapi, kalau membangun dan sifatnya spekulatif, tidak ada. Sangat-sangat berisiko.
Jadi, perkiraan saya, setelah semua gedung selesai dibangun, perkiraan saya pada 2023, tidak akan masuk lagi suplai baru. Sekarang semua sudah finishing, kan. Selama 2023-2025 tidak ada gedung baru.
Nah, harapannya Indonesia segera memasuki herd immunity sehingga lebih yakin dengan pergerakan ekonominya. Ekonomi naik terus, lama-lama terkejar. Jadi, perkiraan saya, mulai ada tanda-tanda recovery pada 2024. Sudah mulai membaik. Kemudian setelah itu akan naik terus.
Kembali ke trek pertumbuhan ya…
Ya. Kembali ke trek pertumbuhan, betul.
Akan benar-benar pulih pada 2030?
Tidak sampai sih. Balik ke pra-COVID-19 itu bisa pada 2026. Kemudian mulai bagus lagi, normal lagi, pada 2027-2028. Karena pada saat ekonomi bagus, bisnis berkembang, permintaan perkantoran juga naik terus. Jadi, suplai baru saya asumsikan tidak ada lagi, yang kosong terisi semua.
Waktunya panen dari paceklik sekarang kalau begitu…
Ya, landlord-landlord mulai panen nantinya.
Belakangan perusahaan-perusahaan teknologi global banyak yang ekspansi ke Jakarta. Sumbangsihnya tidak bisa mengangkat pasar perkantoran yang sedang anjlok?
Ini over supply-nya nemen sekali, jadi tidak cukup. Kalau bahasa Jawa-nya, nemen alias parah sekali. Sebagai gambaran, antara 2005-2014 annual supply ruang perkantoran CBD, yaitu Sudirman, Gatot Subroto, Thamrin, Rasuna Said, Megakuningan, dan Satrio hanya seluas 120.000 per tahun. Pada 2015-2021 itu rata-rata 300.000 m2 per tahun. Tiga kali lipat ya. Sementara pertumbuhan ekonomi kita turun, demand perkantoran tidak ada.
Artinya, persaingan antarpemain pasar perkantoran sangat sengit?
Sengit, sengit sekali. Itu tadi, yang dikejar tingkat hunian, bukan harga rental, rental fleksibel. Yang penting pada saat sampai 75% sudah bisa bernapas tenang. Kalau sudah sampai 75%, landlord-landlord sudah santai, cari tenant-nya sudah milih-milih, harga rentalnya sudah bisa dinaikkan.
Selain harga, dalam kondisi sulit seperti sekarang ini apa yang ditawarkan oleh property management agar tenant tetap menyewa?
Program-program insentif, salah satunya ada parkir gratis untuk sekian banyak unit. Misalnya, sewa parkir setahun free tiga bulan, ada kemungkinan reduce tanpa penalti, personality space.
Itu dilakukan karena sekarang ini kuncinya fleksibilitas. Tenant tidak berani kontrak terlalu lama karena situasinya tidak pasti. Jadi, landlord yang memberikan fleksibilitas paling besar itu yang dicari.
Tekan “tombol lonceng” di sisi kiri layar Anda untuk mendapatkan notifikasi berita terbaru dari TechnoBusiness lebih cepat.
Simak berita-berita kami dalam bentuk video di kanal TechnoBusiness TV. Jangan lupa berikan atensi Anda dengan “like, comment, share, dan subscribe”.