TechnoBusiness Talks
Karyanto: “Saya Ingin Mendigitalkan Jamu Lewat JamuDigital”
Published
5 years agoon
Karyanto, sarjana farmasi UGM yang “gagal” menjadi apoteker, menceritakan alasannya mengapa harus mengembangkan JamuDigital dan marketplace Beli Jamu.
Exclusive Interview ● Di tengah pandemi Coronavirus Disease (Covid)-19 yang mewabah ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia, Presiden Joko Widodo mengimbau masyarakat untuk membudayakan minum jamu.
Seperti diketahui, jamu memiliki banyak manfaat bagi tubuh, tapi kian tak dilirik. Pamor jamu semakin lama bukan semakin bagus malah semakin memudar.
Celakanya lagi, sekitar 95% bahan baku obat-obatan di Tanah Air masih impor. Padahal, Indonesia negara yang kaya keanekaragaman hayati—yang seharusnya bisa menjadi tulang punggung ekonomi nasional di bidang kesehatan.
Dengan sumber daya sebanyak itu, semestinya Indonesia juga bisa mandiri dalam hal obat-obatan. Tapi, dari 30.000 spesies tanaman, baru sedikit yang dimanfaatkan untuk bahan baku obat, jamu, atau obat herbal.
Atas dasar itulah, Karyanto—sarjana farmasi Universitas Gadjah Mada yang lebih banyak menghabiskan waktu menjadi wartawan (1983-1994), sebelum bekerja di GP Farmasi, apotek, produsen alat kesehatan (1995-2005), dan mengurusi komunikasi korporat Dexa Medica Group (2005-2016)—tergerak untuk mendirikan JamuDigital.com.
Kepada Purjono Agus Suhendro dari TechnoBusiness Indonesia, ia menjelaskan alasan-alasannya mengapa harus mengembangkan JamuDigital dan apa targetnya ke depan.
Untuk mengetahuinya, silakan simak hasil Exclusive Interview TechnoBusiness Indonesia dengan Karyanto di Angel In Us Coffee, CIBIS Nine, Cilandak, Jakarta, belum lama ini.
Saat ini, Anda sedang mengembangkan JamuDigital. Jamu tapi digital. Apa maksudnya?
Jadi, sekarang kami sedang merintis JamuDigital.com. JamuDigital adalah pionir digital jamu dan obat herbal yang terintegrasi dengan pelayanan pengobatan tradisional.
JamuDigital adalah pionir digital jamu dan obat herbal yang terintegrasi dengan pelayanan pengobatan tradisional.
Misalnya ahli akupunktur, mereka memerlukan obat herbal atau jamu. Ahli repsologi pun perlu terintegrasi dengan obatnya, baik herbal maupun jamu.
Ke depan, harapannya juga bisa terintegrasi dengan pelayanan kesehatan formal seperti rumah sakit dan klinik-klinik kesehatan.
Untuk di rumah sakit, tentunya sangat menarik jika fitofarmaka bisa masuk ke rumah sakit dan menjadi bagian dari sistem jaminan kesehatan nasional.
Simak berita-berita kami dalam bentuk video di kanal TechnoBusiness TV. Jangan lupa berikan atensi Anda dengan “like, comment, share, dan subscribe”.
[nextpage]
Bukankah sekarang sudah?
Belum. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan branding dan akses pasar jamu, kami menyiapkan dua platform, yaitu media online JamuDigital dan marketplace Beli Jamu. JamuDigital sudah dua tahun berjalan dengan baik dan diterima oleh banyak pihak.
Dengan JamuDigital, saya ingin mem-branding jamu Indonesia. JamuDigital juga berfungsi untuk mengedukasi masyarakat tentang bagaimana cara mendapatkan jamu yang legal, yang tidak tercampur dengan bahan kimia obat, jamu yang resmi diproduksi oleh produsen teregistrasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Selain itu, banyak perusahaan yang sudah melakukan uji klinik dan menghasilkan fitofarmaka. Fitofarmaka itu semestinya bisa masuk ke pelayanan formal rumah sakit. Dengan begitu, ada kemandirian obat.
Kita tahu bahwa Indonesia belum mandiri dalam bidang obat-obatan. Sebenarnya seberapa banyak obat yang sudah berhasil kita produksi sendiri dan yang impor?
Obat-obatan konvensional, obat kimia, atau obat sistetis, itu 95% bahan bakunya masih impor. Padahal, Indonesia sendiri menjadi negara yang megabiodiversitas.
Kita nomor lima di dunia untuk spesies tanaman terbanyak. Keanekaragaman hayati kita terdiri dari 30.000 spesies tanaman. Dari 30.000 spesies tanaman itu, 9.000 di antaranya sudah teruji berkhasiat.
Keanekaragaman hayati kita terdiri dari 30.000 spesies tanaman. Dari 30.000 spesies tanaman itu, 9.000 di antaranya sudah teruji berkhasiat.
Sehingga, kalau digali oleh banyak pihak, menjadi sumber bahan baku obat, ini bisa mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat kita.
Dari 9.000 itu, yang sudah dipakai untuk ramuan obat atau jamu belum sampai 400 spesies. Potensinya besar sekali.
Bahkan, seharusnya megabiodiversitas kita bisa menjadi tulang punggung ekonomi nasional di bidang kesehatan. Untuk itu, selain media online JamuDigital, kami juga mengeluarkan platform marketplace Beli Jamu.
Untuk marketplace Beli Jamu itu seperti apa konsepnya?
Marketplace Beli Jamu ada di dalam JamuDigital. Kami akan rintis bersama Gabungan Pengusaha (GP) Jamu. Kami sudah mendapat lampu hijau dari GP Jamu agar seluruh anggotanya bisa menggunakan marketplace Beli Jamu dan menjadikan Beli Jamu sebagai pasar jamu digital bersama.
Simak berita-berita kami dalam bentuk video di kanal TechnoBusiness TV. Jangan lupa berikan atensi Anda dengan “like, comment, share, dan subscribe”.
[nextpage]
Jamu itu, kan, kendalanya dirasa. Jamu itu terkesan rasanya pahit. Sehingga orang memilih menghindari untuk meminumnya…
Nah, sekarang produsen sudah mulai banyak yang memproduksi jamu dengan rasa yang lebih ringan, tidak pahit, tapi secara khasiat masih memungkinkan.
Kalau tidak pahit, apakah punya khasiat yang sama?
Kalau mau khasiatnya maksimal bisa diminum dalam bentuk pil atau kapsul. Tapi, kalau untuk minuman sehat, healthy drink, itu bisa diinovasi dengan bahan lain sehingga diterima generasi milenial.
Sebab, menurut saya, jamu itu segmennya luas. Untuk minuman sehat, mungkin rasa pahit itu bisa dihilangkan, tapi tidak mengejar khasiat.
Kalau mau mengejar khasiat, barangkali rasa pahitnya tidak dihilangkan tapi dikemas dalam bentuk pil atau kapsul.
Apa yang membuat Anda tertarik dengan dunia perjamuan?
“Selain media online JamuDigital, kami juga mengeluarkan platform marketplace Beli Jamu.”
Saya itu sarjana farmasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), tapi sejak semester empat saya sudah menjadi wartawan.
Sambil kuliah saya jadi wartawan di Kedaulatan Rakyat Group, Yogyakarta, sampai lulus.
Saat saya melanjutkan ke jenjang profesi apoteker, sudah kuliah satu semester, sudah ujian dua mata kuliah, tiba-tiba saya dapat panggilan untuk menjadi wartawan di Jakarta.
Saya berpikir, sebagai orang daerah, diterima menjadi wartawan Ibu Kota itu sangat menarik. Sehingga, dalam semalam saya putuskan ambil kesempatan itu.
Asumsi saya, nanti di Jakarta saya bisa melanjutkan ke program apoteker di Universitas Indonesia atau yang lainnya. Ternyata kerja jadi wartawan sangat menyita waktu. Sampai sekarang pun belum sempat mengambil profesi apoteker.
Simak berita-berita kami dalam bentuk video di kanal TechnoBusiness TV. Jangan lupa berikan atensi Anda dengan “like, comment, share, dan subscribe”.
[nextpage]
Berapa lama Anda menjadi wartawan?
Saya bergabung dengan Kedaulatan Rakyat Group antara 1983-1990. Setelah meninggalkan Kedaulatan Rakyat, saya masuk ke harian Bisnis Indonesia pada Januari 1991.
Jamu itu seharusnya menjadi warisan budaya dunia.
Empat tahun kemudian saya pindah ke GP Farmasi karena orang tua tetap menginginkan saya menggunakan ijazah farmasi saya. Lalu, kerja di apotek dan produsen alat kesehatan.
Pada 2005, saya ditawari Dexa Medica Group, salah satu perusahaan farmasi terbesar di Indonesia, untuk bergabung. Setelah masuk ke perusahaan itu, ternyata saya ditugasi untuk membangun departemen komunikasi.
Makanya, kalau ditanya oleh orang tua, “Kerja di mana?” Saya jawab, “Kerja di perusahaan farmasi,” walau sebetulnya sebagian pekerjaannya sama dengan sebelumnya.
Lalu, sekarang mengembangkan JamuDigital…
Nah, latar belakang pendidikan farmasi, lama jadi wartawan. Lalu, saya petakan, belum ada media yang khusus membahas soal jamu. Padahal, jamu itu seharusnya menjadi warisan budaya dunia. Karena hanya 11 negara di dunia ini yang memiliki riwayat perjamuan.
Misalnya, di China ada Traditional Chinese Medicine, di India ada Ayurveda. Sementara, kalau dilihat dari sumber bahan bakunya, mungkin kita unggul. Sumber daya kita luar biasa.
Bayangkan, dari 30.000 tanaman, 9.000 di antaranya sudah terindikasi berkhasiat. Itu pun baru separuhnya yang digunakan. Jadi, kalau ini digali terus oleh peneliti, oleh pengusaha, didukung oleh media untuk branding-nya, akan menjadi kekuatan nasional yang luar biasa.
Simak berita-berita kami dalam bentuk video di kanal TechnoBusiness TV. Jangan lupa berikan atensi Anda dengan “like, comment, share, dan subscribe”.
[nextpage]
Anda optimistis bisa mewujudkan rencana itu semua?
Harus optimis. Sebab, membawa nama Indonesia. Kapan lagi ada media yang mendukung jamu secara total. Saya yakin itu. Dalam dua tahun ini alhamdulillah teman-teman di BPOM dan GP Jamu sangat mendukung JamuDigital.
Bahkan, pada saat pencanangan Destinasi Wisata Jamu di Sukoharjo pada Maret tahun lalu, dihadiri oleh 2.000 massa yang sebagian besar pengusaha jamu dan mbok-mbok jamu, Kepala BPOM Penny K. Lukito memberikan apresiasi kepada saya.
“Kami harus mendidik mbok-mbok jamu untuk berjualan jamu secara online pula alias jamu digital.”
Beliau bilang begini, “Terima kasih Pak Karyanto sebagai pionir marketplace jamu yang memberikan akses kepada mbok-mbok jamu dan pengusaha jamu.”
Memang teknologinya belum kami kembangkan secara canggih. Tapi, ibarat mal, kita tidak mungkin membuat mal yang megah kalau tenant-nya belum ada. Yang jualan belum ada.
Makanya, kami harus mendidik mbok-mbok jamu untuk berjualan jamu secara online pula alias jamu digital. Saya menyadari itu enggak mudah.
Bagaimana tidak, karena ada yang bisa mengoperasikan ponsel, misalnya, tapi enggak siap kemasannya. Apalagi, biasanya mereka berjualan memakai sepeda, sepeda motor, atau malah cuma jalan kaki.
Namun, cepat atau lambat, mereka harus mengikuti perkembangan teknologi. Dan, alhamdulillah sekarang generasi muda yang menjual jamu digital, jamu secara online, semakin banyak.●
Simak berita-berita kami dalam bentuk video di kanal TechnoBusiness TV. Jangan lupa berikan atensi Anda dengan “like, comment, share, dan subscribe”.