Finance
Rupiah Merosot, Apa “Obatnya”?
Published
7 years agoon
Jakarta, TechnoBusiness ID ● Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat merosot ke lebih dari Rp14.000 beberapa minggu terakhir. Sebagian analis mengatakan sebetulnya melemahnya mata uang Garuda itu tidak begitu mengagetkan karena sudah bisa diprediksi sebelumnya.
Baca Juga: AADC, Strategi Memenangkan Pasar Online
Pasalnya, semakin membaiknya perekonomian Paman Sam jelas akan mengeruk dolar lebih banyak. Penguatan itu tentu akan memengaruhi nilai tukar seluruh mata uang di dunia, termasuk rupiah, meskipun kondisi perekonomian makro cenderung terjaga.
Apresiasi dolar dan depresiasi rupiah kemungkinan masih akan terjadi beberapa waktu ke depan. Hal itu dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga The Fed dan kebijakan Presiden Amerika Donald Trump yang memangkas pajak (tax cut) dan menggelorakan perang dagang.
Namun, depreasi itu tidak perlu dikhawatirkan, kata Bank Indonesia, karena volatilitasnya masih dalam batas aman. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani berpendapat serupa, walaupun menurutnya pemerintah dan Bank Indonesia kurang mengantisipasi atas pelemahan itu.
Memang sekalipun sudah melebihi Rp14.000 per dolar Amerika, rupiah hanya terdepresiasi 3,3%, lebih rendah dibanding Rupee India, Peso Filipina, dan lain sebagainya. Euro, dolar Australia, dan dolar Singapura tidak lepas dari pengaruh penguatan dolar Amerika.
Dalam Kongkow Bisnis Live bertema “Rupiah Gonjang-Ganjing, Apa yang Bisa Dilakukan?” yang diselenggarakan radio bisnis PAS FM di Hotel Milenium, Jakarta, Rabu (9/5), Head of Economics and Research Finance and Corporate Service UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan yang perlu dikhawatirkan adalah pembayaran dividen dan utang luar negeri, baik pemerintah maupun swasta.
Kekhawatiran masyarakat pasti terjadi, walaupun fundamental perekonomian saat ini lebih solid daripada 10 atau 20 tahun lalu. “Hal ini dapat dilihat dari peringkat layak investasi yang diberikan oleh tiga rating agensi kepada Indonesia,” ungkap Enrico.
Kalaupun saat ini terjadi net sell di pasar modal, bukan berarti langsung ditukar ke dolar. Enrico memprediksi kemungkinan dananya dialihkan ke pasar obligasi.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono yang juga hadir dalam acara itu mengungkapkan sebaiknya Bank Indonesia tidak berpikir menyelesaikan ini dengan intervensi, mengingat cadangan devisa negara merosot cukup signifikan.
“Menaikkan suku bunga merupakan opsi yang harus segera ditempuh,” kata Tony. Negara lain pun sudah melakukannya. “Jika terlambat merespons akan menimbulkan biaya tambahan seperti terkurasnya cadangan devisa, yang nantinya malah akan membuat pasar semakin khawatir,” lanjutnya.
Opsi menaikkan BI rate dari 4,25% sepertinya memang hanya menunggu waktu. Bank Indonesia tampak hati-hati melakukannya mengingat inflasi yang menjadi salah satu indikator perekonomian tetap stabil di kisaran 3,5%, juga defisit transaksi berjalan masih di bawah 3% dari Produk Domestik Bruto. Jika Mei belum diputuskan naik, bisa jadi Juni 2018.●
—Ivan Darmawan, TechnoBusiness ID ● Foto-Foto: TechnoBusiness ID, PAS FM