Published
7 years agoon
Singapura, TechnoBusiness ● Pionir layanan transporasi berbasis aplikasi online asal San Francisco, California, Amerika Serikat, Uber Technologies, Inc., menyerah dari persaingan di pasar Asia. Kabar itu semakin santer terdengar akhir pekan lalu, dan media-media internasional termasuk Bloomberg dan CNBC pun sudah mengabarkannya.
Baca Juga: Mengenal Keunggulan Teknologi Sprint Digital 360
Uber, yang didirikan oleh Travis Kalanick dan Garret Camp pada Maret 2009, merasa kesulitan mencuri ceruk pasar, baik di China maupun negara-negara di Asia Tenggara, sekalipun menjadi yang pertama dan raja dengan pangsa pasar 74,3% di negaranya.
Di China, dalam dua tahun sejak diluncurkan pada Februari 2014, Uber telah kehilangan US$2 miliar. Hingga akhirnya pada Agustus 2016 kepemilikannya digabungkan dengan kompetitornya, Didi Chuxing, yang berpusat di Beijing.
Dalam kesepakatan yang membuahkan perusahaan gabungan senilai US$35 miliar itu, Uber menerima 5,89% saham di perusahaan gabungan dengan “bunga ekuitas” yang setara 17,7% saham. Sebab, saat itu valuasi Uber dinilai sebesar US$7 miliar, sedangkan Didi US$28 miliar.
Kini, rumor bahwa Uber di Asia Tenggara juga bakal dialihkan kepemilikannya segera terjawab. Bloomberg yang mengutip dari narasumbernya bahkan mengonfirmasi hari ini kesepakatan itu akan diumumkan.
Sumber TechnoBusiness memperkirakan pola pelepasannya akan sama seperti yang dilakukan di China. Menurutnya, manajemen Uber akan mendapatkan sekian persen kepemilikan di Grab, pemain tangguh di Asia Tenggara—yang beroperasi di Malaysia, Singapura, Indonesia, Filipina, Vietnam, Myanmar, Kamboja—yang berpusat di Kuala Lumpur dan Singapura.
Pengalihan kepemilikan itu mencakup semua bisnis Uber, termasuk Uber Eats. Uber Eats yaitu layanan pengantaran makanan layaknya Grab Food dan Go-Food, layanan milik Go-Jek, kompetitor terbesar di Indonesia.
Satu Muara
Jika dicermati, pertempuran ini tidak ada yang kalah dan menang. Sebab, baik Uber, Didi, Ola di India, dan Grab, sebagian angkanya bermuara dari satu “penguasa dana”, yakni SoftBank Group Corporation asal Jepang.
Pada Desember 2017, SoftBank resmi mengakuisisi 15% saham Uber dan langsung menjadi pemilik terbesarnya. Perusahaan telekomunikasi pimpinan Masayoshi Son itu kemudian menambah jajaran manajemen dari 11 menjadi 17 direksi, dua di antaranya merupakan perwakilannya.
Sebelumnya, tepatnya pada Mei 2017, SoftBank menginvestasikan dananya di Didi senilai US$5 miliar. Perusahaan tersebut bersama Tencent Holdings Ltd. asal China juga mengucurkan dananya ke Ani Technologies Pvt. Ltd., pengelola Ola, layanan transporasi online terkemuka di India, senilai US$2 miliar.
Uber juga beroperasi di India. Melihat pemetaan yang dilakukan akhir-akhir ini, bisa jadi Uber dan Ola juga akan digabungkan oleh SoftBank, sama seperti Uber disatukan ke dalam naungan Didi di China.
Kini, giliran Uber di Asia Tenggara yang diserahkan ke Grab. Sebenarnya, tanda-tanda itu sudah bisa dibaca sejak pertengahan tahun lalu (Juli 2017) ketika Didi dan SoftBank secara bersama-sama mengucurkan investasi sebesar US$2 miliar ke Grab.
Cheng Wei, pendiri dan CEO Didi, memuji Grab, dan mengatakan, “Dimulai dengan transportasi, Grab membangun kepemimpinan di ekonomi berbasis internet Asia Tenggara berdasarkan posisi pasar, keunggulan teknologi, dan wawasan yang sesungguhnya”.
Mantan karyawan Alibaba selama delapan tahun itu berharap Grab dan Didi bisa bekerja sama dengan masyarakat dan para pembuat kebijakan di seluruh Asia untuk merangkul peluang-peluang luar biasa dalam revolusi transporasi yang akan datang.
SoftBank pun tampak sekali lebih mendukung Grab untuk lebih berkembang di pasar Asia Tenggara ketimbang Uber. “Grab menggunakan teknologi untuk menjawab tantangan transportasi dan pembayaran, yang merupakan tantangan terbesar di Asia Tenggara,” kata Masayoshi Son, Chairman dan CEO SoftBank.
Tentu saja, Anthony Tan, Group CEO dan Co-founder Grab, senang dengan dukungan SoftBank dan Didi tersebut. “Dengan dukungan mereka, Grab akan menjadi pemimpin pasar yang tak terbantahkan di industri ride-sharing di kawasan ini,” ujarnya.
Di pasar berkembang, dinamis, dan menjanjikan ini, yang meliputi 7 negara dan 65 kota, Grab mampu melayani 3 juta perjalanan per hari. Perjalanan itu melibatkan 1,1 juta pengemudi dan dengan pembayaran melalui GrabPay Credits yang meningkat 80% per bulan sejak diluncurkan pada Desember 2016.
Jadi, sekalipun Uber hanya bertahan di pasar Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, Ola di India, Didi di China, dan Grab di Asia Tenggara, pada akhirnya “kekayaan” itu bermuara pada satu kekuatan besar, yakni SoftBank. SoftBank-lah yang mengatur siapa (baca: perusahaan) yang perlu terus dihidupkan atau dimatikan dari kancah persaingan di antara mereka sendiri.●
—Michael A. Kheilton, TechnoBusiness ● Foto-Foto: Uber, Grab
Batal Merger dengan Gojek, Grab Akan IPO di Bursa Amerika
SoftBank Jual US$2 Miliar Saham Uber, Kenapa?
Grab Raih Pendanaan US$ 200 Juta dari Stic Investments
Grab Raih Pendanaan US$700 Juta dari Mitsubishi UFJ Financial Group
Masayoshi dan Oleh-Olehnya untuk Indonesia
Bloomberg: Grab Incar Startup Pembayaran 2C2P, tapi Ditolak
Pemerintah Bentuk Yayasan NextICorn. Apa Fungsinya?
Wow, Pendapatan GrabFood Tumbuh 45 Kali Lipat
Mengapa Industri Startup Australia Tak Seagresif di Indonesia?