Y&S Insights
Y&S Insights: Komparasi Implementasi 5G di Indonesia dan Negara-Negara Lain
Oleh Izdihara Nur Khalisha, Konsultan YAMADA Consulting & Spire
Published
24 hours agoon
Oleh Izdihara Nur Khalisha, Konsultan YAMADA Consulting & Spire
Y&S Insights ● Di era digital saat ini, kecepatan dan efisiensi komunikasi menjadi semakin penting bagi pertumbuhan ekonomi dan inovasi teknologi. Salah satu perkembangan paling signifikan dalam bidang telekomunikasi adalah munculnya teknologi 5G yang memiliki kemampuan untuk mentransfer data secara ultra-cepat dan latensi yang sangat rendah.
Apabila dibandingkan dengan generasi sebelumnya, yakni 4G, maka 5G menawarkan sejumlah keunggulan signifikan seperti kecepatan transfer data yang mencapai 10 Gbps sehingga memungkinkan unduhan dan streaming konten dengan kualitas tinggi secara instan, serta latensi yang sangat rendah, yakni kurang dari 1 milidetik yang meningkatkan responsivitas dalam aplikasi real-time, seperti gaming dan kendaraan otonom.
Selain itu, 5G mampu mendukung koneksi untuk hingga satu juta perangkat per kilometer persegi, memungkinkan pengembangan Internet of Things (IoT) secara masif.
Dengan kapasitas yang lebih besar dan efisiensi yang lebih tinggi, 5G berpotensi merevolusi berbagai sektor, mulai dari kesehatan dan transportasi hingga industri dan smart cities. Dengan demikian, adopsi teknologi 5G menjadi faktor kunci dalam menciptakan ekosistem digital yang lebih terintegrasi dan efisien.
Setidaknya, terdapat beberapa factor yang mempengaruhi kemajuan impelementasi 5G di suatu negara seperti jumlah populasi, jumlah pengguna, jumlah BTS, jumlah spektrum frekuensi, dan lain-lain.
a. Jumlah User
Berdasarkan jumlah user, Telstra (Australia) memimpin dengan tingkat penetrasi 5G sebesar 54%, diikuti oleh KT Telecom (Korea Selatan) sebesar 39%, menunjukkan adopsi yang cepat di pasar negara maju. sementara Airtel (India) dan Telkomsel (Indonesia) memiliki basis prabayar yang besar namun serapan 5G masih tergolong rendah. Hal ini menandakan bahwa ruang untuk pertumbuhan jumlah pengguna 5G di Indonesia masih sangat besar, didukung dengan jumlah penduduk Indonesia yang pada pertengahan tahun 2024 telah mencapai jumlah 282.477.584 jiwa (Data Kemendagri).
b. Jumlah Base Transceiver Station (BTS)
Keberadaan jumlah base transceiver station (BTS) 5G merupakan indikator penting yang menggambarkan keadaan implementasi jaringan 5G di suatu negara, antara lain BTS yang lebih banyak berarti memberikan kapasitas yang lebih besar. BTS yang cukup banyak memastikan kualitas layanan tetap tinggi meskipun terdapat lonjakan jumlah pengguna. Selain itu, jumlah BTS yang cukup juga membantu menjaga stabilitas jaringan khususnya dalam mendukung aplikasi 5G seperti Internet of Things (IoT), autonomous vehicles, dan AR/VR.
Berdasarkan jumlah BTS, Indonesia tercatat sebagai negara dengan total BTS paling sedikit apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya, baik negara tetangga seperti Thailand maupun negara lainnya seperti India, Australia, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Prancis. Jumlah BTS 5G Indonesia bahkan masih terbilang dalam jumlah ratusan, dimana di negara-negara lain, Australia misalnya, jumlahnya telah mencapai ribuan. Jumlah BTS ini baru meng-cover 2,5% wilayah di Indonesia.
Hal ini menunjukkan belum meratanya implementasi jaringan 5G di Indonesia, dimana jaringan 5G di Indonesia baru tersedia di kota-kota besar seperti Jakarta, Tangerang Selatan, Batam, Medan, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Denpasar, Balikpapan, dan Makassar.
c. Alokasi Spektrum Frekuensi
Spektrum frekuensi 5G terdiri dari tiga kategori utama, masing-masing dengan karakteristik dan kegunaan berbeda.
- Low-Band Spectrum (Sub-1 GHz): merupakan frekuensi di bawah 1 GHz seperti 600 MHz dan 700 MHz. Spektrum low-band memiliki jangkauan luas dan penetrasi sinyal yang baik termasuk dalam ruangan. Namun spektrum ini cenderung memiliki kecepatan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan mid-band dan mmWave sehingga cocok untuk area pedesaan atau daerah dengan cakupan yang luas. Spektrum ini menyediakan koneksi 5G yang stabil di area geografis yang besar dengan pengguna yang tersebar.
- Mid-Band Spectrum (1 GHz – 6 GHz): merupakan spektrum frekuensi yang berada pada rentang 1 GHz hingga 6 Ghz, seperti 2,5 Ghz, 3,5 GHz hingga 4,2 GHz. Spektrum Mid-band ini memiliki keseimbangan antara jangkauan dan kapasitas, kecepatan lebih tinggi dibandingkan low-band sehingga ideal untuk area perkotaan dengan kepadatan pengguna sedang hingga tinggi. Spektrum frekuensi ini mendukung kecepatan data lebih cepat dan cakupan yang baik di area perkotaan dan pinggiran kota.
- High-Band Spectrum (Millimeter Wave/mmWave): merupakan spektrum yang berada pada rentang 24 GHz hingga 100 Ghz, misalnya 26 GHz, 28 GHz, dan 39 GHz. Spektrum ini memiliki kecepatan sangat tinggi dengan latensi rendah, kapasitas data besar yang cocok untuk area dengan lalu lintas data yang tinggi. Namun spektrum ini memiliki jangkauan yang sangat terbatas yang idealnya hanya beberapa ratus meter dan kurang efektif dalam menembus penghalang fisik seperti dinding.
Untuk mengoptimalkan layanan 5G, operator telekomunikasi biasanya menggunakan kombinasi spektrum dimana umumnya spektrum low-band digunakan untuk cakupan nasional, spektrum mid-band digunakan untuk wilayah dengan kepadatan sedang dan spektrum high-band untuk hotspot data di daerah perkotaan.
Apabila kita menilik kebijakan negara-negara alokasi spektrum yang mereka gunakan untuk 5G, tiap negara memiliki kebijakan dan fokus masing-masing. Kebijakan ini umumnya dilakukan melalui pendekatan berdasarkan kebutuhan lokal dan kondisi geografis.
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Prancis dan Korea Selatan memprioritaskan kecepatan dan kapasitas tinggi. Hal ini bisa dilihat diantaranya melalui Amerika Serikat yang memilih untuk memimpin dalam adopsi spektrum mmWave yang berfokus pada kecepatan tinggi meskipun tetap memiliki tantangan dalam penetrasi sinyal. Amerika Serikat memulai lelang spektrum 5G pertama pada tahun 2018 untuk pita frekuensi tinggi termasuk 28 GHz dan 24 GHz dengan tetap menyeimbangkan dengan penggunaan spektrum Mid-Band yang mencakup pita 2,5 GHz, 25 GHz dan 3,7-4,2 GHz dengan total lebih dari 60 Megahertz yang tersedia untuk implementasi 5G. Keberhasilan kebijakan ini juga dapat dilihat pada salah satu operator AS, Verizon, yang berhasil meluncurkan layanan 5G di 30 kota di seluruh AS menggunakan spektrum mmWave pada tahun 2019.
Hal serupa juga dilakukan oleh Korea Selatan yang memiliki gaya kepemimpinan global dalam adopsi awal dan cakupan nasional yang cepat. Korea Selatan berfokus pada spektrum Mid-band (3,5 Ghz) dan mmWave (28 GHz) dimana Korea Selatan melakukan lelang spektrum 5G pertama kali pada Juni 2018. Kebijakan ini menghasilkan pada 2019, ketiga operator utama di Korea elatan yakni SK Telecom, KT Corporation dan LG plus berhasil meluncurkan layanan 5G secara komersial dan menjadikan Korea Selatan sebagai negara pertama yang menawarkan layanan 5G secara nasional.
Sedangkan negara berkembang seperti India, Thailand dan Indonesia berfokus pada cakupan luas dan adaptasi lokal untuk area rural sehingga mengkombinasi spektrum low-band, mid-band dan high-band.
Di Indonesia, perkembangan frekuensi 5G pun mengalami beberapa tahapan penting yang melibatkan perencanaan, alokasi dan implementasi oleh pemerintah serta operator telekomunikasi.
Pada 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengadakan lelang spektrum 2,3 GHz yang dimenangkan oleh Telkomsel. Telkomsel kemudian meluncurkan layanan 5G komersial menggunakan spektrum tersebut. Kominfo juga berfokus pada migrasi spektrum 700 MHz melalui proses Analog Switch-Off (ASO), di mana spektrum ini sebelumnya digunakan untuk layanan siaran televisi analog. Spektrum ini direncanakan untuk dialokasikan bagi layanan 5G setelah migrasi selesai.
Saat ini, pemerintah sedang melakukan penataan ulang (refarming) terhadap pita 2,6 GHz dan 3,5 GHz yang sebelumnya digunakan untuk layanan satelit dan komunikasi lainnya. Penataan ini dilakukan untuk mempersiapkan alokasi spektrum bagi layanan 5G, terutama pita 3,5 GHz yang menjadi standar global untuk 5G.
Telkomsel menjadi operator pertama yang meluncurkan layanan 5G komersial di Indonesia pada Mei 2021, menggunakan spektrum 2,3 GHz. Telkomsel terus memperluas cakupan layanan 5G ke berbagai kota besar. Sementara itu, operator lainnya seperti Indosat Ooredoo Hutchison dan XL Axiata juga telah meluncurkan layanan 5G dengan menggunakan spektrum 1,8 GHz, berfokus pada area perkotaan dan wilayah dengan permintaan tinggi.
d. Download & Upload Speedtest
Download dan upload speed pada speed test mencerminkan tingkat adopsi dan kualitas jaringan. Speed yang tinggi dan stabil menandakan implementasi 5G yang telah matang dengan cakupan jaringan dan kapasitas yang memadai. Sedangkan, speed rendah menunjukkan tantangan dalam implementasi seperti keterbatasan spektrum, densitas base station yang belum cukup maupun interferensi.
Berdasarkan data di atas, Korea Selatan memimpin dalam kecepatan unduh rata-rata sebesar 427,5 Mbps dan kecepatan unggah 52,2 Mbps dengan rasio 8,2x, disusul India dengan kecepatan unduh 243,3 Mbps dan unggahan 17,6 Mbps. Indonesia sendiri mencatatkan rasio yang sangat dekat antara rata-rata rasio unduh dan unggah sebesar 2,4x, namun Indonesia juga menjadi negara terakhir dengan rata-rata kecepatan unduh 54,6 Mbps. Implikasinya, Mobile Network Operator (MNO) di Indonesia belum memiliki spektrum 5G Stand Alone, masih menggunakan teknologi berbagi spektrum dinamis dan mempersiapkan backhaul 5G melalui fiberisasi.
Berdasarkan perbandingan-perbandingan di atas, Indonesia dapat dikatakan masih cukup tertinggal dalam hal implementasi 5G. Setidaknya terdapat beberapa hal yang menyebabkan ketertinggalan implementasi 5G di Indonesia, antara lain:
- 1. Frekuensi Belum Optimal
Saat ini, layanan 5G di Indonesia beroperasi pada pita frekuensi yang sebelumnya digunakan untuk 4G, seperti 1.800 MHz dan 2,3 GHz. Penggunaan spektrum ini dianggap belum optimal untuk memaksimalkan potensi 5G.
Dalam implementasi jaringan 5G, terdapat dua pendekatan utama yang dikenal sebagai 5G Standalone (SA) dan 5G Non-Standalone (NSA). Keduanya berbeda dalam hal infrastruktur, performa dan penggunaan sektrum.
Pada jaringan 5G Non-Standalone, jaringan 5G dibangun di atas infrastruktur jaringan 4G yang sudah ada. Artinya, jaringan 5G NSA masih menggunakan inti jaringan (core network) dari jaringan 4G/LTE untuk mengelola konektivitas dan kontrol. Dengan kata lain, 5G NSA hanya menggunakan spektrum 5G untuk meningkatkan kecepatan data tetapi masih bergantung pada teknologi 4G.
Hal ini adalah apa yang terjadi dengan keadaan penggunaan spektrum 5G di Indonesia saat ini, dimana layanan 5G saat ini menggunakan spektrum frekuensi yang sebelumnya digunakan untuk jaringan 4G seperti 1,8 GHz, 2,1 GHz atau 2,6 GHz dengan tambahan spektrum 5G di pita tengah dan tinggi seperti 3,5 GHz.
Memang cara ini lebih cepat dan lebih hemat biaya karena operator tidak perlu membangun infrastruktur 5G sepenuhnya dari awal, sehingga ideal untuk mempercepat penyebaran jaringan 5G tanpa investasi yang besar. Namun, karena masih menggunakan inti jaringan 4G, performa 5G NSA dari segi latensi dan kecepatan maksimal mungkin tidak setinggi jaringan 5G Standalone.
Jaringan 5G Standalone (SA) sendiri merupakan jaringan 5G penuh yang menggunakan infrastruktur 5G secara end-to-end termasuk core network 5G yang sepenuhnya independen dari jaringan 4G, sehingga dibangun secara mandiri dan tidak bergantung pada infrastruktur 4G.
Jaringan 5G SA memanfaatkan spektrum 5G baru, khususnya pada pita tengah misalnya 3,5 GHz dan pita atas mmWave seperti 26 GHz yang emndukung kapasitas tinggi, kecepatan ultra-cepat dan latensi rendah.
Teknologi 5G SA memberikan semua fitur canggih 5G termasuk latensi ultra-rendah, network slicing dan kecepatan yang lebih tinggi secara konsisten sehingga mendukung aplikasi industri canggih seperti Internet of Things (IoT), otomasi, VR/AR dan aplikasi berlatensi rendah lainnya.
- 2. Demografi & Populasi Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dengan populasi sekitar 282 juta jiwa. Populasi ini tersebar tidak merata dengan pulau Jawa sendiri menampung lebih dari 50% populasi sementara pulau-pulau lainnya seperti Papua, Maluku, Kalimantan memiliki kepadatan yang lebih rendah.
Hal ini membuat tingginya biaya untuk menjangkau wilayah-wilayah yang tidak memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi. Selain itu, kondisi geografis Indonesia yang juga terdiri dari pulau-pulau terpencil, gunung, hutan lebat dan lautan membuat setiap pulau memiliki karakteristik dan tantangan tersendiri yang membutuhkan biaya tambahan untuk pemasangan dan pemeliharaan infrastruktur seperti tower, kabel bawah laut maupun satelit.
Jaringan kabel optik yang menjadi tulang punggung 5G juga sulit untuk dipasang di daerah – daerah yang kurang berkembang karena tidak semua wilayah memiliki infrastruktur dasar yang mendukung seperti akses jalan yang baik.
- 3. Infrastruktur
Implementasi jaringan 5G di Indonesia saat ini masih dalam tahap pengembangan, dengan fokus utama pada proses fiberisasi. Fiberisasi adalah penggelaran jaringan serat optik yang merupakan langkah krusial untuk memastikan konektivitas yang stabil dan kecepatan tinggi yang diperlukan oleh teknologi 5G.
Serat optik pada kabel fiber menyediakan transmisi data yang lebih andal dibandingkan dengan teknologi microwave link, sehingga mengurangi latensi dan meningkatkan kualitas layanan. Selain itu, jaringan serat optik juga mampu menangani volume data yang lebih besar sesuai dengan kebutuhan 5G yang memerlkukan bandwidth tinggi.
Tahapan fiberisasi ini juga memiliki tantangan tersendiri khususnya di Indonesia yang memiliki topografi wilayah beragam, termasuk pegunungan dan lautan sehingga menambah kompelksitas dalam penggelaran jaringan serat optik. Hal ini juga menciptakan kebuutuhan biaya investasi yang signifikan khususnya untuk menjangkau wilayah terpencil dan kepulauan di Indonesia.
- 4. Business Model/Monetisasinya
Layanan 5G membutuhkan perangkat yang kompatibel seperti smartphone yang mendukung 5G, yang masih relatif mahal bagi sebagian besar populasi Indonesia. Sebagian besar pengguna yang mampu menggunakan perangkat 5G dan berlangganan layanan premium ini masih berada di wilayah perkotaan.
Hal ini menjadikan penggelaran jaringan 5G di seluruh wilayah Indonesia secara merata meningkatkan risiko investasi yang belum tentu mendapatkan return yang sesuai bagi operator. Operator pun akan mengenakan biaya yang lebih tinggi untuk layanan 5G untuk dapat memastikan return on investment yang berkelanjutan.
Yamada Consulting & Spire (Y&S) merupakan perusahaan riset dan konsultasi bisnis terkemuka di dunia dengan kantor pusat di Tokyo, Jepang, dan kantor pusat regional Asia Pasifik di Singapura. Sebelum diakuisisi oleh Yamada Consulting Group, perusahaan ini dikenal dengan nama Spire Research and Consulting.
Y&S Indonesia | Menara Astra Lt. 25 Unit 25D, Jalan Jend. Sudirman Kav. 5-6, Jakarta 10220, Telp/Faks: (021) 50889816 | www.yamada-spire.com
You may like
-
Pullman Hotels & Resorts Reveals “The Transforming Room” Concept
-
Infor Positioned as a Leader in the 2024 Gartner Magic Quadrant for Cloud ERP
-
Pemasaran Aplikasi Seluler di Asia Tenggara Cukup Potensial
-
Inilah Daftar Pemenang Smarties Indonesia Awards 2024
-
MMA Impact Indonesia 2024 Soroti Dampak Mendalam Digitalisasi
-
Laba Bersih BCA Digital pada Kuartal 3/2024 Tumbuh 532,7%
-
Synnex Metrodata Indonesia Jadi Distributor Devo Technology
-
BPA Broker Hadirkan Solusi Telekonsultasi Kesehatan dr. Barron
-
IBM AI in Action Report Identifies Key Characteristics of Businesses