Y&S Insights
Y&S Insights: BESS dalam Peta Transformasi Green Data Center di Indonesia
Oleh Grisela Mutiara, Konsultan YAMADA Consulting & Spire

Y&S Insights ● Industri data center di Indonesia sedang berkembang pesat. Dari kawasan industri di Cibitung hingga Batam, pembangunan fasilitas baru terus berlanjut. Berdasarkan data Ember, kapasitas total data center di Indonesia diproyeksikan mencapai 400 MW pada 2030.
Grafik di samping menunjukkan bahwa tanpa percepatan adopsi energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin, emisi listrik dari sektor data center Indonesia berpotensi meningkat signifikan hingga 2030. Posisi Indonesia diperkirakan menjadi tertinggi kedua di ASEAN setelah Malaysia, melampaui Filipina dan Singapura. Proyeksi ini menegaskan pentingnya intervensi teknologi ramah lingkungan untuk mencegah lonjakan emisi yang tidak terkendali.
Pertumbuhan sektor ini menjadi pendorong utama ekonomi digital nasional, memperkuat konektivitas, dan mempercepat transformasi industri. Namun, di balik peluang tersebut, terdapat tantangan besar berupa meningkatnya kebutuhan listrik dan risiko lonjakan emisi karbon. Tanpa adanya penerapan teknologi ramah lingkungan, emisi listrik data center di Indonesia diproyeksikan mencapai 18 MtCO₂e pada 2030, yang menjadikan Indonesia sebagai penyumbang emisi terbesar kedua di ASEAN setelah Malaysia.
Kebutuhan Energi dan Risiko Emisi
Sebagian besar pasokan listrik di Indonesia saat ini masih bergantung pada pembangkit yang menggunakan batu bara dan gas. Sumber energi fosil ini menghasilkan emisi yang tinggi, terutama di wilayah Jawa, Madura, dan Bali, di mana faktor emisi gas rumah kaca sistem kelistrikan tercatat sebesar 0,78 tCO₂e/MWh, tertinggi di kawasan ASEAN.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa setiap kali ada penambahan kapasitas data center, otomatis akan ada peningkatan jejak karbon yang dihasilkan. Pertumbuhan data center yang pesat tanpa diimbangi strategi transisi clean energy akan memperbesar beban lingkungan.
Dengan tren transformasi digital yang terus meningkat, risiko ini semakin nyata. Setiap langkah ekspansi infrastruktur digital, jika tidak direncanakan secara berkelanjutan, justru akan mempercepat laju emisi. Maka dari itu, penerapan solusi clean energy, termasuk teknologi penyimpanan energi seperti battery energy storage system (BESS), menjadi langkah yang dapat dipilih untuk memastikan perkembangan digital tetap berjalan seiring dengan upaya menjaga lingkungan.
BESS Mengelola Energi dan Emisi
Battery energy storage system (BESS) adalah teknologi penyimpan energi dari sumber terbarukan seperti surya dan angin. Energi ini dapat digunakan saat permintaan listrik sedang tinggi, sehingga beban pada jaringan listrik utama berkurang dan emisi dapat ditekan.
BESS unggul dalam kemampuan load shifting, yaitu menyimpan energi saat tarif listrik rendah atau pasokan energi terbarukan sedang berlimpah, lalu menggunakannya kembali ketika harga listrik naik atau permintaan daya memuncak. Hal ini tentu membantu efisiensi biaya operasional dan memperkuat posisi green data center di mata investor dan klien global yang kini semakin memprioritaskan ESG metrics.
Regulasi di Indonesia
Indonesia sendiri sudah memiliki beberapa kebijakan yang dapat mendukung transisi menuju green data center serta integrasi BESS.
- Permen ESDM No. 26/2021 tentang skema green tariff PLN yang memungkinkan pelanggan industri, termasuk data center, membeli listrik langsung dari sumber energi terbarukan dengan tarif khusus. Skema ini menjadi pendorong adopsi clean energy tanpa perlu membangun pembangkit sendiri.
- Perpres No. 112/2022 tentang percepatan pengembangan energi terbarukan yang memberikan insentif fiskal, kemudahan perizinan, serta dukungan regulasi bagi proyek tenaga surya, angin, dan BESS. Kebijakan ini berperan penting dalam mengurangi hambatan investasi awal di sektor clean energy.
- Revisi PP No. 71/2019 dan Permenkominfo No. 5/2020 tentang keberlanjutan dalam izin data center yang menambahkan kriteria efisiensi energi dan keberlanjutan sebagai syarat operasional. Penerapan BESS dapat menjadi nilai tambah dalam proses perizinan.
Namun, tantangan utama ada di tahap implementasi. Regulasi memang sudah tersedia, tetapi banyak inisiatif masih berhenti di level kebijakan tanpa diterjemahkan menjadi proyek yang layak dibiayai dan menarik bagi investor. Koordinasi lintas kementerian, kejelasan skema pendanaan, dan kesiapan infrastruktur pendukung sering menjadi hambatan yang memperlambat adopsi BESS di sektor data center. Tanpa percepatan pada aspek-aspek ini, potensi Indonesia untuk memimpin pasar green data center di ASEAN sulit tercapai sepenuhnya. Maka dari itu, keberlanjutan agenda ini membutuhkan kerangka hukum yang kuat dan komitmen eksekusi yang konsisten di lapangan.
Contoh penerapan di beberapa negara ASEAN menunjukkan bahwa keberhasilan integrasi BESS dalam ekosistem green data center bergantung pada kesiapan teknologi dan kualitas koordinasi antara kebijakan, pasar, dan industri.
- Malaysia menargetkan minimal 30% konsumsi listrik di kawasan data center Johor berasal dari energi terbarukan. Target ini tercapai berkat adanya insentif tarif, regulasi yang konsisten, dan kerja sama dengan penyedia teknologi baterai global.
- Vietnam menerapkan hybrid model yang menggabungkan pasokan listrik dari jaringan nasional dan on-site BESS untuk hyperscale data center. Kebijakan feed-in tariff, skema tarif insentif untuk pembelian listrik dari energi terbarukan, membantu mengurangi risiko investasi sekaligus mendorong perilaku pasar yang menempatkan BESS sebagai bagian prioritas nomor satu sejak tahap desain proyek.
- Singapura, yang memiliki keterbatasan lahan, memasukkan BESS ke dalam Energy Storage System Roadmap sebagai strategi jangka panjang. Pendekatan ini menjaga waktu operasi, meningkatkan keandalan listrik, dan mempertahankan efisiensi energi tanpa mengorbankan ruang untuk sektor lain.
Dari ketiga negara tersebut, terlihat bahwa BESS akan lebih mudah diadopsi jika aturannya jelas, insentifnya menarik, dan ekosistem pemasoknya sudah siap. Ada satu hal lain yang sering luput, yaitu cara industri memandang BESS. Jika BESS diposisikan sebagai bagian dari strategi jangka panjang, alih-alih sekadar tambahan teknologi, penerapannya akan berjalan lebih cepat, stabil, dan berkelanjutan.
Arah ke Depan
Langkah awal menuju adopsi BESS yang efektif adalah memfokuskan pengembangan pada wilayah yang menjadi pusat aktivitas industri, seperti Cibitung dan Batam. Kawasan ini dapat menjadi living laboratory untuk menguji kombinasi on-site tenaga surya dengan BESS skala besar.
Tahap berikutnya adalah memperkuat dukungan melalui insentif pajak dan kemudahan pembiayaan, yang berfungsi sebagai jembatan antara visi dan implementasi. Dampaknya akan lebih maksimal jika digabungkan dengan kontrak Power Purchase Agreement (PPA) jangka panjang untuk pasokan energi terbarukan.
Penting juga membangun sistem sertifikasi nasional yang mengakui penggunaan BESS sebagai indikator keberlanjutan. Serifikat tersebut akan memberi nilai tambah bagi investor dan memperkuat posisi Indonesia di peta green data center global.
Pendekatan ini bukan sekadar urusan teknis mengatur energi, tetapi juga soal membentuk kebiasaan baru dalam cara kita menggunakannya. Dari pola konsumsi cepat, kita belajar menyimpan dan melepas energi di saat yang paling dibutuhkan. Langkah ini membantu memastikan pertumbuhan digital selaras dengan kapasitas lingkungan untuk menopangnya; lebih hati-hati, terukur, dan berkelanjutan.●
YAMADA Consulting & Spire (Y&S) merupakan perusahaan riset dan konsultasi bisnis terkemuka di dunia dengan kantor pusat di Tokyo, Jepang, dan kantor pusat regional Asia Pasifik di Singapura. Sebelum diakuisisi oleh Yamada Consulting Group, perusahaan ini dikenal dengan nama Spire Research and Consulting.
Y&S Indonesia | Menara Astra Lt. 25 Unit 25D, Jalan Jend. Sudirman Kav. 5-6, Jakarta 10220, Telp/Faks: (021) 50889816 | www.yamada-spire.com