Y&S Insights
Kakao, Potensi yang Belum Dimaksimalkan
Published
6 years agoon
Oleh Ashiva Nindra Humaira | Periset Spire Indonesia
Spire Insight ● Tahukah Anda bahwa saat ini Indonesia merupakan negara penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia?
Merujuk pada data International Cocoa Organization (ICCO), Indonesia berhasil memproduksi biji kakao sebanyak 350.000 ton per tahun.
Namun, jumlah itu tidak ada-apanya jika dibandingkan dengan Pantai Gading yang menjadi penghasil kakao terbesar di dunia, yakni mencapai 1.581.000 ton per tahun dan Ghana sebanyak 778.000 ton per tahun. Di bawah Indonesia ada Ekuador yang menghasilkan 232.000 ton per tahun.
Baca Juga: Strategi Menekan Harga Pangan
Untuk diketahui, biji kakao terdiri dari keping biji yang jika diolah akan menjadi kakao massa (cocoa liquor). Lalu, kakao massa menjadi lemak kakao (cocoa butter) dan bungkil (cocoa cake). Dari lemak kakao dan bungkil kemudian bisa menjadi bubuk kakao (cocoa powder).
Buah kakao memiliki kulit yang tebal, yaitu sekitar 3 sentimeter (cm). Daging buahnya yang disebut pula sering tidak dimanfaatkan. Pulpa sendiri mengandung gula dan membantu proses fermentasi biji.
Pohon industri pulpa kakao memperlihatkan bahwa pulpa tidak dapat ditingkatkan menjadi bahan lain yang lebih bermanfaat dan bernilai jual tinggi.
Berbeda dengan kulitnya yang justru bisa ditingkatkan nilainya. Kulit buah kakao bisa dikembangkan menjadi senyawa bioaktif, biomassa, dan nutrisi.
Produk Intermediate Kakao
Di Indonesia, hingga saat ini setidaknya terdapat 20 industri pengolah biji kakao atau yang disebut industri produk intermediate. Berikut ini daftarnya yang telah diperbarui tahun ini.
Ada dua warna di dalam tabel: abu-abu dan putih. Abu-abu menunjukkan bahwa industri tersebut sudah tidak beroperasi lagi, sedangkan yang putih masih.
Rupanya sebagai penghasil biji kakao terbesar ketiga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri.
Dari 20 perusahaan pengolah bahan baku kakao, ada sembilan yang sudah tidak menghasilkan bahan setengah jadi.
Ini menjadi bukti bahwa Indonesia menjadi penghasil biji kakao terbesar ketiga tapi tidak diikuti dengan pertumbuhan pengolahan lanjutan.
Rupanya sebagai penghasil biji kakao terbesar ketiga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Pada 2014, Indonesia telah mengimpor biji kakao sebanyak 109.000 ton dan naik menjadi 226.613 ton pada 2017.
Namun, karena impor bahan baku kakao dikenakan bea masuk 5%, akibatnya harga menjadi mahal dan pabrik-pabrik kakao gulur tikar. Padahal, permintaan produk olahan cokelat di dalam negeri maupun global terus meningkat.
Defisit biji kakao itu diperkirakan akan berlarut-larut karena tidak adanya peremajaan pohon kakao. Ketiadaan peralatan untuk mengolah biji kakao dan minimnya permodalan di tingkat petani—yang kebanyakan di Sulawesi, Sumatera Utara, Jawa Barat, Papua, dan Kalimantan Timur—menjadi penyebab yang lain.
Kalau sudah begitu, dibutuhkan andil pemerintah. Penghapusan bea masuk kakao seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor bisa jadi menjadi salah satu solusi.
Berbarengan dengan itu, pemerintah perlu merevisi PMK No. 67/PMK.011/2010 jo PMK No. 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar dengan mengubah tarif bea keluar dari progresif 0-15% menjadi flat 10%.
Dengan adanya beberapa penyesuaian dari pemerintah diharapkan industri pengolah bahan dasar kakao akan semakin tumbuh, baik dari segi produktivitas maupun performa keuangannya.
Kalau sudah begitu, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi negara penghasil biji dan olahan kakao terbesar di dunia. Apalagi pasarnya terus berkembang dari tahun ke tahun.●
You may like
-
Spire Insights: Prospek dan Tantangan Pasar Peralatan Kolam Renang di Indonesia
-
Spire Insights: Potensi Penetrasi Internet Desa di Indonesia
-
Spire Insights: Potensi Produk Berbahan Dasar Kulit Asal Garut
-
Spire Insights: Tingkat Literasi Keuangan Generasi Muda Indonesia Masih Rendah
-
Spire Insights: Permintaan Produk Skin Care di Indonesia Terus Meningkat
-
Spire Insights: Tren Social Commerce di Indonesia
-
Spire Insights: Pentingnya Penerapan ESG bagi Bisnis di Indonesia
-
Perkembangan Industri Data Center di Indonesia
-
Spire Insight: Dampak COVID-19 terhadap Sistem Bekerja Masa Depan