Y&S Insights
Industri Karet dan Segala Permasalahannya
Published
6 years agoon
Oleh Maudy Miya Andini | Konsultan Spire Research and Consulting
Spire Insight ● Menjadi salah satu unggulan Indonesia dalam bidang ekspor, industri karet mampu menyumbangkan devisa hampir mencapai US$5,589 juta.
Pada 2017, industri karet mampu mengekspor hingga 3.277.000 ton ke berbagai negara, khususnya Amerika Serikat, China, dan Jepang.
Simak Juga: Spire Research and Consulting Memiliki Empat Divisi Riset
Meski Indonesia merupakan negara kedua terbesar yang memproduksi getah karet, 85% getah alam tidak bisa dinikmati oleh industri dalam negeri.
Pada tahun yang sama, Indonesia memproduksi 3.630.000 ton karet. Hasil produksi itu lebih banyak diekspor daripada dikonsumsi dalam negeri.
Indonesia merupakan negara terbesar kedua yang memproduksi getah karet, tapi 85% getah alamnya tidak bisa dinikmati oleh industri dalam negeri.
Ternyata hal itu disebabkan oleh kurang berkembangnya industri hilir karet, yang hanya fokus pada produk konvensional seperti ban, ban vulkanisir, dan sarung tangan karet.
Dari 385 perusahaan getah karet di Indonesia, 80%-nya berupa perkebunan rakyat. Sesuai dengan produk ekspor yang banyak dilakukan Indonesia, perkebunan rakyat mayoritas hanya dapat memproduksi karet remah (crumb rubber).
Berdasarkan tabel dibawah, dapat dilihat bahwa Perkebunan Negara (PBN) dan Perkebunan Rakyat (PR) mengalami penurunan.
Spire Insight: Menganalisis Nasib Industri Baja Nasional
Sebab, perkebunan negara mengalami penurunan produtivitas yang kemungkinan diakibatkan oleh berpindahnya fokus pemerintah ke perkebunan kelapa sawit yang lebih luas.
Sedangkan untuk perkebunan rakyat, faktor tersebut disebabkan oleh usia pohon karet yang sudah tua.
Presiden memerintahkan Kementerian PUPR untuk membeli karet remah dari petani untuk dijadikan bahan aspal karet.
Karena mayoritas karet yang diproduksi merupakan karet remah, maka Indonesia memiliki kekurangan pasokan untuk lateks pekat.
Sehingga produk turunan dari lateks pekat, seperti sarung tangan dan kondom, mengalami kekurangan bahan baku.
Untuk dapat memproduksi lateks pekat, perusahaan membutuhkan teknologi dan modal yang besar untuk dapat membeli alat sentrifugal demi menjaga kondisi lateks.
Seperti yang dialami industri kondom, industri ini membutuhkan investor untuk memperbaiki teknologinya sehingga dapat bersaing dengan produk impor di pasar dalam negeri.
Selain itu, untuk mengatasi harga bahan bakar gas yang semakin tinggi, saat ini banyak industri sarung tangan yang menggunakan karet sintesis ataupun melakukan impor lateks pekat.
Spire Insight: Tren Bisnis “Managed Service” Industri Komunikasi
Permasalahan lainnya, mengenai regulasi impor, khususnya industri ban. Kebijakan Permendag No. 06/2018 yang membuka jalur impor untuk ban tidak hanya membuat khawatir para pengusaha ban, tetapi juga industri vulkanisir.
Berdasarkan pernyataan Asosiasi Pabrik Vulkanisir Ban Indonesia, saingan utama dari ban vulkanisir adalah ban baru impor, terutama produk yang memiliki harga lebih murah.
Karet termasuk komoditas internasional sehingga industri ini sangat dipengaruhi oleh kondisi perdagangan internasional.
Selain konsumen akan memilih ban yang lebih murah, ban tersebut tidak dapat dijadikan cetakan untuk divulkanisasi. Hal ini akan berdampak buruk bagi industri ban vulkanisir.
Hal serupa juga dialami oleh industri dok kapal dan bantalan bangunan. Sampai saat ini, beberapa BUMN masih menggunakan produk impor sehingga produksi dalam negeri rendah.
Mereka mengakui, permasalahan ini dapat diatasi dengan adanya TKDN untuk industri bantalan bangunan dan dok kapal.
Spire Insight: Kakao, Potensi yang Belum Dimaksimalkan
Karet termasuk komoditas internasional sehingga industri ini sangat dipengaruhi oleh kondisi perdagangan internasional. Perang dagang AS dan China dikhawatirkan akan membuat permintaan karet menurun.
Untuk mengatasinya, dibutuhkan negosisasi dengan negara lain agar membeli hasil karet dari Indonesia. Kemudian, kurangnya penyerapan pada industri hilir karet membuat Presiden Joko Widodo mengembangkan program seperti aspal karet melalui program infrastruktur.
Presiden memerintahkan Kementerian PUPR untuk membeli karet remah dari petani untuk dijadikan bahan aspal karet, yang harganya lebih tinggi dari rata-rata, yaitu Rp 6.000-7.500 per kg.
Selain itu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga akan mengembangkan ban vulkanisir pesawat yang selama ini belum bisa memproduksi sendiri di dalam negeri.
Hal itu seiring dengan perencanaan di bidang aviasi yang dikembangkan oleh PT Dirgantara Indonesia dan PT Regio Aviasi Indonesia.
Dengan dilakukannya dua hal tersebut, maka diharapkan harga karet di Indonesia semakin membaik dan penyerapan dalam negeri dapat ditingkatkan.●
PT Spire Indonesia | Wisma BNI Lt. 25 Unit 8-10, Jalan Jend. Sudirman Kav. 1, Jakarta 10220, Telp/Faks: (021) 57945800 | www.spireresearch.com
You may like
-
Spire Insights: Memahami Pentingnya Integrasi Jaringan dan Keamanan IoT
-
Spire Insights: Prospek dan Tantangan Pasar Peralatan Kolam Renang di Indonesia
-
Spire Insights: Potensi Penetrasi Internet Desa di Indonesia
-
Spire Insights: Potensi Produk Berbahan Dasar Kulit Asal Garut
-
Spire Insights: Tingkat Literasi Keuangan Generasi Muda Indonesia Masih Rendah
-
Spire Insights: Permintaan Produk Skin Care di Indonesia Terus Meningkat
-
Pindah ke Menara Astra, Spire Indonesia Tapaki Spire Indonesia 2.0
-
Spire Insights: Mengupas Penerapan Industri Halal di Indonesia
-
Spire Insights: Tren Social Commerce di Indonesia