Published
7 years agoon
Spire Insight ● Belanja lintas negara secara daring (dalam jaringan-online) telah menjadi bagian dari aktivitas keseharian masyarakat global.
Hal ini didorong oleh kebutuhan akan produk yang tidak tersedia di pasar lokal dan upaya untuk memangkas biaya perjalanan lintas negara sehingga produk yang dibeli diharapkan lebih terjangkau.
Seperti halnya karakteristik dan kebutuhan masyarakat global yang beragam, preferensi dari pengguna internet pun beragam, tidak hanya dalam pemenuhan produk, tetapi juga preferensi sistem pembayaran dan prosedur pengiriman.
Baca Juga: Menakar Pertumbuhan Penduduk dan Produksi Pangan Nasional
Tingkat pertumbuhan untuk e-commerce lintas negara diprediksi mencapai 29,30% (US$900 miliar) pada 2020 atau kurang lebih 10% lebih tinggi dibandingkan dengan Global Market Value (GMV) untuk e-commerce secara umum.
Di ASEAN-6 sendiri, tingkat pertumbuhan mencapai 37.58%. Jumlah pengguna internet ASEAN-6 adalah 316 juta dengan 46% di antaranya pernah melakukan pembelian melalui e-commerce.
Sekitar 40% pelaku e-commerce di ASEAN-6 pernah melakukan belanja lintas negara. Di antara negara-negara tersebut, Singapura merupakan negara yang gemar melakukan belanja lintas negara (67%).
Tren Belanja Daring Lintas Negara di ASEAN-6
Malaysia, Singapura, dan Thailand merupakan negara-negara yang memiliki penetrasi internet yang cukup kuat dan tren yang positif terhadap budaya belanja daring.
Dibandingkan ketiga negara tersebut, Indonesia, Filipina, dan Vietnam masih memiliki kendala terhadap infrastruktur untuk internet seperti kecepatannya yang cenderung lambat dan masih belum stabil, terutama di daerah pedalaman.
Meski demikian, Vietnam telah menggunakan internet secara aktif untuk membantu mereka dalam menentukan keputusan pembelian (ulasan produk, promo, dan memeriksa ketersediaan produk).
Berbeda dengan Indonesia yang menggunakan internet hanya sampai pada tahapan minat beli (membandingkan produk dan melihat ulasan atas produk).
Hal ini pulalah yang membuat pengalaman belanja daring lintas negara antara Indonesia (4%) dan Vietnam (33%) berbeda, meskipun keduanya menghadapi kendala yang sama.
Isu dalam Pembayaran
Kurangnya kepercayaan dalam sistem pembayaran membuat pengguna internet enggan melakukan pembelanjaan daring, baik secara domestik maupun global di Indonesia, Filipina, dan Vietnam.
Tantangan dalam pembayaran masih seputar persepsi dari pelaku belanja daring yang menilai bahwa situs web tidak aman, tidak adanya metode pembayaran yang nyaman, produk yang dinilai lebih mahal dibanding harga yang seharusnya karena adanya pajak dan biaya kirim.
Oleh karena itu, hanya separuh dari pengguna internet di ASEAN 6 yang memilih untuk melakukan belanja lintas negara. Di antara ASEAN-6 tersebut, Indonesia memiliki persentase tertinggi untuk keengganan berbelanja lintas negara di mana 73% pengguna internet di Tanah Air lebih memilih untuk berbelanja dalam negeri.
Baca Juga: Spire Research Jadi Mitra Riset KL International Arts Festival 2017
Setiap negara ASEAN-6 memiliki metode pembayaran e-commerce favoritnya. Namun, secara umum, pembayaran secara tunai masih menjadi preferensi, kecuali di Singapura yang lebih memilih kartu kredit, diikuti Malaysia dan Thailand yang mulai terbuka dengan pembayaran menggunakan kartu kredit.
Namun, sistem pembayaran tunai ini dinilai tidak mampu menjadi alternatif yang praktis untuk pembayaran lintas negara. Hal ini pulalah yang mendorong Singapura lebih familiar dengan belanja daring lintas negara dibanding Indonesia yang masih memilih metode pembayaran tunai.
Selain metode pembayaran, masalah ketidakjelasan regulasi dan besaran biaya pajak masih menjadi perhatian, terutama kekhawatiran akan kemungkinan adanya korupsi selama proses bea cukai.
Secara umum, pajak di ASEAN-6 terdiri dari pajak barang impor, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah dan pajak penghasilan barang impor (pajak tambahan khusus di Indonesia).
Tantangan dalam Logistik
Asia Tenggara masih terkendala oleh infrastruktur logistik yang terintegrasi.
Hal ini memengaruhi keseluruhan rantai pasok logistik, mulai dari pembayaran, pergudangan, hingga akhir proses pengiriman sehingga setiap aktivitas terlokalisasi yang mengakibatkan meningkatnya biaya tambahan bagi konsumen.
Banyak hal yang menjadi pertimbangan untuk melakukan transaksi lintas negara; waktu pengiriman yang terlalu lama (ditambah proses bea cukai), tidak tersedianya pengiriman internasional, dan anggapan bahwa prosedur untuk pengembalian barang yang dinilai sulit dan mahal.
Secara umum, waktu yang dibutuhkan untuk mengirimkan barang dari seluruh dunia ke negara-negara ASEAN-6 sekitar dua minggu. Untuk negara seperti Indonesia dan Filipina yang memiliki pertumbuhan ekonomi domestik yang lebih stabil dibandingkan ekspor, infrastruktur untuk logistik hanya fokus terhadap rantai nilai domestik.
Sehingga penyedia layanan domestik umumnya memprioritaskan pengiriman domestik. Namun, hadirnya beberapa penyedia layanan logistik di Asia Tenggara menjadi cerminan akan potensi layanan jasa pengiriman regional seperti Ninja Van, LalaMove, dan Deliveree.
Layanan Terintegrasi Meminimalisasi Kompleksitas E-Commerce Lintas Negara
Saat ini, berbagai penyedia layanan pembayaran untuk e-commerce lintas negara telah tersedia. Didukung oleh ASEAN, portal informasi mengenai pajak dan berbagai informasi mengenai perdagangan lintas negara ASEAN telah dibuka (ATR-ASEAN Trade Repository). Selain itu, penyedia last-mile delivery juga telah berkembang pesat di ASEAN seperti DHL, LalaMove, NinjaVan dan sebagainya.
Akan tetapi, tantangan seperti transaksi yang dirasa kurang aman termasuk kejelasan prosedur pengembalian, tidak adanya sistem pembayaran yang terintegrasi dan terpercaya serta mahalnya biaya pengiriman, termasuk pajak, membuat pengguna internet masih merasa enggan untuk melakukan belanja daring lintas negara.
Oleh karena itu, pelaku e-commerce sudah saatnya untuk mulai membentuk satu platform terintegrasi bekerja sama dengan penyedia layanan pembayaran guna mengurangi kompleksitas pembayaran internasional.
Hal ini terkait pula dengan kejelasan mengenai prosedur pengembalian yang tertera di platform para peritel. Di sisi logistik, penambahan jumlah gudang transit juga diperlukan untuk mengurangi biaya pengiriman bekerja sama dengan penyedia layanan last mile delivery.●
Mahwida Nur Fitriasani
Winston
winston@technobusiness.id
Spire Research and Consulting merupakan perusahaan periset pasar dan konsultasi bisnis untuk pasar global, terutama di negara-negara berkembang. Perusahaan yang didirikan pada 2000 ini memiliki kantor perwakilan di semua negara Asia Pasifik dengan kantor pusat di Tokyo, Jepang.
Spire Insights: Potensi Penetrasi Internet Desa di Indonesia
Spire Insights: Potensi Produk Berbahan Dasar Kulit Asal Garut
Spire Insights: Tingkat Literasi Keuangan Generasi Muda Indonesia Masih Rendah
Spire Insights: Permintaan Produk Skin Care di Indonesia Terus Meningkat
TokoTalk: “Kami Berangkat dari Layanan Berbasis Chatbot”
Spire Insight: Dampak COVID-19 terhadap Sistem Bekerja Masa Depan
Shopee, E-commerce Paling Populer di Asia Tenggara
Spire Insight: Industri Kreatif di Indonesia Langka Talenta Kreatif
Spire Insight: Dealing Government Affairs in Indonesia