Y&S Insights
Mencari Solusi Pendanaan Petani
Published
7 years agoon
Spire Insight ● Saat ini, Indonesia masih menjadi negara dengan tingkat konsumsi beras (nasi) tertinggi di dunia. Rata-rata penduduk negara ini mengonsumsi 140 kilogram nasi setiap tahunnya (BPS, 2016). Ini angka yang tinggi, dan banyak tantangan yang hadir mengiringi tuntutan kebutuhan seperti ini.
Baca Juga: Lima Alasan E-commerce Global Harus Masuk ke Pasar Indonesia
Meskipun tingkat produksi beras di Indonesia hingga akhir 2016 terus menunjukan tren peningkatan, hal ini belum dibaca sebagai keuntungan dan potensi, mengingat masih banyaknya masalah yang membelit seperti kesejahteraan petani.
Dari tabel di atas, kita patut mencatat bahwa produksi beras terus digenjot dengan berbagai cara. Kementerian Pertanian pun menyatakan bahwa Indonesia telah mampu memenuhi stok kebutuhan beras nasional pada 2017 lalu.
Sayangnya, cerita belum berhenti di situ. Petani padi masih bergelut dengan berbagai masalah. Misalnya, di ambang masa panen raya padi awal 2018 ini (Februari-Maret), harga gabah di tingkat petani terus menurun.
Seperti dikutip dalam salah satu penyataan Menteri Pertanian, harga gabah di tingkat petani mengalami penurunan dikarenakan panen raya, ungkap Amran Sulaiman.
Optimalisasi peran Bulog dalam menyerap hasil panen pun masih terasa kurang mendongkrak harga beli gabah di tingkat petani, karena antisipasi penyesuaian harga terlambat dilakukan sebelum panen raya, akibatnya petani merugi.
Per Februari, harga beras di Pasar Induk Besar Cipinang mengalami penurunan Rp300/kg, sedangkan di tingkat petani, gabah kering sudah merosot hingga Rp800/kg.
Himpitan masalah juga merambah pada pola pengelolaan keuangan yang tidak efektif di petani yang terus berulang. Dalam satu siklus tanam-panen, petani hanya mendapatkan penghasilan setiap enam bulan sekali (siklus padi), yaitu saat Panen Raya. Padahal, mereka membutuhkan biaya untuk mengelola sawah di setiap bulannya, juga mempunyai kebutuhan harian di masa tunggu menjelang panen.
Karena itu, banyak petani yang membanting tulang mencari pekerjaan sampingan sebagai buruh batu atau pekerja bangunan serabutan. Sektor pembiayaan modal produksi dan literasi pengelolaan keuangan yang baik belum terbaca secara jernih oleh berbagai sektor yang berperan penting di pertanian.
Padahal, melalui akses pembiayaan produksi, setidaknya petani bisa melepaskan satu ikatan ketergantungan modal yang selama ini mereka butuhkan. Sebagai ilustrasi, berikut adalah gambaran proses dan biaya yang diperlukan oleh petani dalam satu kali siklusnya.
Terhadap masalah pembiayaan produksi pertanian, sebenarnya ada beberapa solusi yang telah ditawarkan ke petani sejauh ini, antara lain melalui Lembaga Keuangan yang memiliki akses yang merintis ke wilayah rural, seperti BPR, BMT, Koperasi, Koperasi Syariah, dan program pemerintah untuk Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP).
Tapi, solusi-solusi ini belum menjawab sepenuhnya karena masih ada saja petani yang meminjam dana dari sektor-sektor informal seperti keluarga dekat, tetangga, toko tani, tengkulak maupun pemilik penggilingan padi, dikarenakan mereka memiliki syarat peminjaman yang lebih longgar.
Ada beberapa alasan petani enggan meminjam dana dari badan keuangan resmi. Salah satunya karena sertifikat tanah sering digunakan sebagai jaminan. Bagi petani, syarat ini cukup berisiko. Selain itu, mereka juga sering menganggap mekanisme peminjaman terlalu berbelit-belit dan bunga yang dibebankan terlalu tinggi. Alasan lain, mereka tak bisa membayar cicilan setiap bulannya, karena mereka baru mendapat penghasilan di masa panen raya.
Pemerintah telah berusaha memberi solusi, antara lain dengan program PUAP. Meskipun memiliki dampak positif, program ini pun belum bisa mendorong petani untuk mengembangkan bisnis pertanian. Salah satu poin pentingnya adalah karena PUAP membatasi peminjaman dengan kisaran hanya dari Rp800.000-Rp1 juta.
Jumlah ini belum cukup karena setiap musim tanam hingga panen bisa memakan dana mulai dari Rp7-20 juta per ha (lihat bagan 1). Selain itu, pemerintah lokal dan pusat belum bisa bersinergi secara optimal, biarpun ada beberapa program pembiayaan lain bagi petani kecil seperti P4K dan PMP (pembiayaan mikro petani).
Padahal, jika ditilik dari rantai produksi dan bisnis yang dijalankan dalam pertanian, setidaknya kita bisa mengurai masalah, salah satunya dalam hal bantuan pembiayaan ke petani. Melalui skema pembiayaan modal produksi pertanian dilihat dari rantai proses pertanian, petani mampu diberdayakan untuk terlibat secara mutual dengan aktor-aktor lainnya dalam rantai proses pertanian.
Selanjutnya, dari bantuan modal produksi pertanian, petani juga dibantu untuk mendapatkan kepastian harga jual gabah saat panen raya, sehingga permainan harga di tingkat tengkulak bisa ditekan seminimal mungkin.
Mengakomodasi Kebutuhan Petani
Dengan masalah-masalah yang merundung para petani, yang merupakan ujung tombak produksi beras, ada beberapa hal yang harus dilakukan secepatnya. Yang pertama, meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan yang efektif bagi para petani. Hal ini bisa dilakukan dengan menggiatkan pelatihan-pelatihan di berbagai perkumpulan petani yang tersebar di Indonesia.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah mengenalkan teknologi keuangan digital pada para petani. Mereka adalah salah satu kalangan yang paling terbantu oleh pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini, dan mereka juga tergolong yang paling membutuhkan.
Para petani masih membutuhkan sistem pembiayaan fleksibel yang bisa disesuaikan dengan siklus panen mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan menyediakan pinjaman berbunga rendah yang dibayar per enam bulan, dan menambahkan pestisida serta bibit tanaman di dalam paket pinjaman bagi petani. Disatukan dengan BPJS atau produk asuransi lainnya, langkah seperti ini bisa menjadi langkah penting untuk mengembangkan pertanian.
Terakhir dan tak kalah penting adalah menciptakan platform kerja sama yang terintegrasi dengan beberapa institusi untuk mengakomodasi program-program yang telah berjalan. Tak bisa dimungkiri, ada banyak program yang seperti berjalan sendiri-sendiri dan sulit dikembangkan karena koordinasi yang kurang lancar antar-berbagai pihak.
Memang masih ada segudang tantangan di bidang pertanian. Tapi, potensi yang dimilikinya pun tak kalah banyak. Yang dibutuhkan adalah semangat dan langkah-langkah awal yang tepat untuk menciptakan solusi efektif, terutama bagi petani.●
Kumbo Lasmono
kumbo@technobusiness.id
Foto: spi.or.id
——
Spire Research and Consulting merupakan perusahaan riset pasar dan konsultasi bisnis global, terutama di negara-negara berkembang. Perusahaan yang didirikan pada 2000 di Singapura ini kini memiliki kantor perwakilan di semua negara Asia Pasifik dan berkantor pusat di Tokyo, Jepang.
You may like
-
Spire Insights: Potensi Penetrasi Internet Desa di Indonesia
-
Spire Insights: Potensi Produk Berbahan Dasar Kulit Asal Garut
-
Spire Insights: Tingkat Literasi Keuangan Generasi Muda Indonesia Masih Rendah
-
Spire Insights: Permintaan Produk Skin Care di Indonesia Terus Meningkat
-
Spire Insight: Dampak COVID-19 terhadap Sistem Bekerja Masa Depan
-
Spire Insight: Industri Kreatif di Indonesia Langka Talenta Kreatif
-
Spire Insight: Dealing Government Affairs in Indonesia
-
Spire Insight: Perubahan Perilaku Konsumen Saat COVID-19
-
Spire Insight: Membaca Industri Logistik E-commerce India