Published
7 years agoon
Spire Insight ● Berjarak sekitar 160 kilometer dari Medan, Simalungun merupakan salah satu kabupaten penghasil kopi di Provinsi Sumatera Utara. Berlokasi di sepanjang pinggiran Danau Toba dengan ketinggian mencapai 1.400 meter di atas permukaan laut (mdpl) membuat Simalungun menjadi daerah yang berpotensi tinggi untuk ditanami kopi dengan varietas utamanya Arabika.
Baca Juga: Mencari Solusi Pendanaan Petani
Dalam publikasi “Outlook Kopi 2017” yang dikeluarkan Kementerian Pertanian, Sumatera Utara tercatat sebagai provinsi penghasil kopi Arabika terbesar di Indonesia, dengan rata-rata produksi sebesar 49.546 ton setiap tahunnya. Sumatera Utara berkontribusi sebanyak 29,99% dari produksi kopi Arabika nasional.
Bagaimana dengan Simalungun? Simalungun merupakan salah satu kabupaten penyumbang kopi Arabika terbesar ketiga di Sumatera Utara setelah Tapanuli Utara dan Dairi, dengan kapasitas produksi mencapai hampir 9.000 ton per tahun atau berkontribusi sebanyak 17%.
Namun, bukan berarti Simalungun tidak memproduksi kopi jenis lain. Simalungun pun memproduksi kopi Robusta dengan nilai produksi mencapai 2.718 ton per tahun. Nilai yang sangat tinggi dan memiliki potensi yang besar untuk menaikkan roda perekonomian masyarakat, khususnya bagi petani kopi di Simalungun.
Hal itu tentu terjadi seiring makin meningkatnya budaya minum kopi yang menjamur di semua kalangan, khususnya di kalangan generasi milenial. Bahkan, Presiden Joko Widodo dalam salah satu vlog-nya memperlihatkan dirinya bersama beberapa menteri begitu menikmati ngopi di salah satu kedai kopi kekinian di Bandung, Jakarta, dan kota-kota lainnya.
Selain itu, kita juga dengan mudah menemukan kedai kopi di semua pelosok negeri, mulai dari kedai kopi dengan berlabel internasional hingga kedai kopi besutan anak negeri. Ini membuktikan ngopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup dan menjadi potensi pasar yang sangat besar.
Pertumbuhan konsumsi kopi lokal diproyeksikan terus meningkat, bahkan mencapai angka 8% setiap tahunnya. Ini nilai yang fantastis. Namun, yang menjadi pekerjaan rumah besar adalah tingginya pertumbuhan konsumsi kopi tidak dibarengi dengan produksi kopi yang meningkat.
Saat ini, produksi kopi dinilai stagnan bahkan berkurang dibandingkan dengan produksi kopi Indonesia di era 1990-an. Walaupun dilabeli sebagai eksportir kopi terbesar keempat di dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolumbia, Indonesia masih mengimpor kopi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sangat ironis bukan?
Lalu, bagaimana dengan kopi di Simalungun? Memang kopi Simalungun tidak terkenal seperti saudaranya, Kopi Gayo atau bahkan Kopi Lintong. Hal itu terjadi karena kebanyakan kopi Simalungun masih diproduksi dalam bentuk gabah. Sedikit sekali petani yang memproduksi hingga ke kopi siap saji.
Produk gabah kopi Simalungun banyak dilarikan ke daerah lain oleh pengepul. Dibawa ke Lintong jadi kopi Lintong, dibawa ke Sumbul jadi kopi Sidikalang, dibawa ke Medan jadi kopi Mandhailing. Padahal, kopi Simalungun sudah tidak diragukan lagi kualitasnya, di atas kategori specialty dan sudah mengantongi sertifikat Indikasi Geografis (IG) kopi Arabika Simalungun.
Kopi Simalungun pun sudah diekspor ke berbagai negara, termasuk Australia, Swiss, Timur Tengah, dan Amerika Serikat. Terdapat kelompok tani di Simalungun, tepatnya di Kecamatan Sidamanik, yang telah menerapkan pertanian kopi organik, tanpa bahan kimia yang ramah lingkungan. Kopi yang dihasilkan telah dilirik oleh Starbucks.
Kelompok tani yang digawangi Ludiantoni Damanik itu dipercaya memasok green bean dan roast been. Saat ini, Bang Toni, sapaan akrabnya, sedang giat memasarkan produk kopinya sendiri dengan label Saabas Kopi. Awal 2018, Toni pun diundang untuk mengikuti pameran produk kopi di Swiss.
Di samping itu, pertanian kopi di Simalungun menemui satu barrier yang besar, di mana harga yang dibayarkan ke petani untuk hasil panen kopi masih tergolong rendah. Perbedaan harga jual pengepul dengan yang diterima petani mencapai lebih dari Rp10,000 per kilogram. Ini yang menyebabkan banyak petani mulai pindah ke komoditas lain yang dirasa lebih menguntungkan bagi mereka seperti jeruk, kentang, dan lainnya.
Menurut petani, pemerintah daerah masih menganggap kopi bukan sebagai komoditas yang menguntungkan seperti halnya kelapa sawit. Sangat disayangkan, mengingat saat ini peluang untuk membesarkan komoditas kopi terbuka lebar.
Pemerintah daerah perlu memberikan perhatian penuh kepada petani kopi dalam bentuk pendampingan, mulai dari proses persiapan hingga pemasaran produk hasil panen berupa kopi siap saji. Program pendampingan pascapanen menjadi sangat krusial mengingat saat ini kopi Simalungun masih banyak dijual dalam bentuk gabah, bukan dalam bentuk kopi siap saji.
Jika petani kopi di Simalungun, pemerintah daerah, dan pelaku bisnis mampu bersinergi, tidak menutup kemungkinan kopi menjadi komoditas unggulan dari daerah itu, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan para petaninya.●
Muhammad Rizki Faisal
rizki.faisal@technobusiness.id
————–
Spire Research and Consulting merupakan perusahaan riset pasar dan konsultasi bisnis global, terutama di negara-negara berkembang, yang didirikan di Singapura pada 2000. Kini, perusahaan ini memiliki kantor perwakilan di semua negara Asia Pasifik dengan kantor pusat di Tokyo, Jepang.
Spire Insights: Prospek dan Tantangan Pasar Peralatan Kolam Renang di Indonesia
Spire Insights: Potensi Penetrasi Internet Desa di Indonesia
Spire Insights: Potensi Produk Berbahan Dasar Kulit Asal Garut
Spire Insights: Tingkat Literasi Keuangan Generasi Muda Indonesia Masih Rendah
Spire Insights: Permintaan Produk Skin Care di Indonesia Terus Meningkat
Spire Insights: Tren Social Commerce di Indonesia
Spire Insights: Pentingnya Penerapan ESG bagi Bisnis di Indonesia
Perkembangan Industri Data Center di Indonesia
Spire Insight: Dampak COVID-19 terhadap Sistem Bekerja Masa Depan