Published
8 years agoon
JAKARTA – Indonesia memang pasar yang besar, tapi belum berarti bagi e-commerce. Mengapa demikian? Saat ini, dari 262 juta penduduk, pengguna internetnya baru sekitar 132,7 juta atau 51%. Dari jumlah itu, penetrasi e-commerce-nya masih 9% atau senilai US$5,6 miliar.
Akan tetapi, industri e-commerce akan segera berperan penting di Tanah Air. Transaksi perdagangan berbasis online itu diyakini bakal tumbuh pesat hingga mengalahkan negeri-negeri jiran seperti Singapura dan Thailand. Pada 2025, berdasarkan prediksi periset pasar eMarketer, nilainya menjadi US$46 miliar dari populasi 294 juta jiwa.
Angka itu jauh meninggalkan Singapura yang kemungkinan hanya mencatatkan transaksi e-commerce senilai US$5,4 miliar dan Thailand US$11,1 miliar. Walau secara per kapita transaksi e-commerce Singapura lebih besar, yakni US$789, karena hanya memiliki penduduk sebanyak 6,8 juta jiwa; sementara Thailand US$155 dengan 72 juta jiwa.
Karena masih dalam masa awal pertumbuhan—yang sekarang didominasi oleh website, mobile apps, dan marketplace, para pebisnis membutuhkan edukasi sekaligus “jembatan penghubung” dari sistem offline ke online. “Masa pertumbuhan” itulah yang kemudian ditangkap oleh aCommerce, perusahaan jasa layanan penuh (full service) bagi e-commerce di Indonesia, Thailand, dan Filipina, untuk meluncurkan platform untuk semua (Business to All/B2All).
Dalam seminar bertajuk “Brand Commerce: Integrating Brand’s Multichannel Presence” di Hotel Intercontinental, Mid Plaza, Jakarta, Kamis (2/3), CEO aCommerce Indonesia Hadi Kuncoro mengatakan saat ini merupakan waktu yang tepat bagi merek untuk mengoptimalkan dan mengintegrasikan kemampuannya untuk mendapatkan ceruk pasar, baik offline maupun online, di Asia Tenggara.
Oleh sebab itu, kata dia, aCommerce membagikan best practice-nya. Best practice itu penting, terutama di Indonesia, pasar e-commerce dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara. Apalagi, “Dengan kontribusi e-commerce yang belum sampai 1% dari total penjualan ritel, masih sangat besar bagi merek dan peritel tradisional untuk mendapatkan bagian dari 99% sisanya,” kata Hadi.
aCommerce menawarkan platform B2All untuk membantu merek dan peritel tradisional dalam meraih potensi pasar tersebut yang terbagi menjadi lapisan-lapisan yang berbeda. Lapisan-lapisan itu dipetakan menjadi B2Customer (B2C), B2Business (B2B), B2Employee (B2E), B2Government (B2G), B2Distributorship (B2D), dan B2Retailer (B2R). Semua itu hadir di berbagai tipe e-commerce, yakni socio commerce, chat commerce, dan media commerce.
“Saat ini, untuk ekosistem e-commerce di Indonesia, sebenarnya edukasi di level usaha kecil menengah sudah cukup besar. Namun, motor penggeraknya, yakni pemilik merek dan perusahaan besar, juga harus mengerti ‘know how’ dari channel ini secara mendalam,” ungkap Hadi.
“Know how” yang harus dikuasai merek yang dimaksud Hadi termasuk well-informed serta mengerti tantangan dan teknikalitasnya. Sebagai perusahaan layanan end-to-end e-commerce, meliputi performance marketing, channel management, platform design dan developement, content production, order fulfillment dan pergudangan, pengiriman dan logistik, serta customer service dan call center sejak Juni 2013, aCommerce memahami best practice yang telah terbukti sukses di Amerika, Eropa, dan China.
Beberapa perusahaan yang menjadi klien aCommerce sepakat dengan konsep semacam itu. Loreal Indonesia, misalnya, tetap akan menggarap secara serius pasar e-commerce meski ceruknya masih kecil. “Walaupun kontribusi online terhadap keseluruhan penjualan kami masih single digit dan belum sebanding dengan penjualan offline, LOreal memiliki belief dan ambisi untuk mencapai pertumbuhan bisnis yang signifikan dari online,” ujar E-Commerce Manager LOreal Indonesia Ashley Amanna.
Berdasarkan pengalaman LOreal, dengan penetrasi online, mulai dari tahap pengembangan merek (brand building), bahkan produknya belum diluncurkan, merek bisa melibatkan pelanggan, mendapatkan data, memahami behaviour dan kebutuhan pelanggan.
“Untuk menghindari kanibalisme harga (price canibalism) antara online dan offline, serta online yang membutuhkan delivery cost, maka salah satu taktiknya adalah dengan mem-bundle produk,” kata CEO Alfacart Catherine Hindra. “HP Indonesia merambah dunia online tidak hanya untuk menambah channel baru, tapi juga bagian dari upaya mengedukasi pasar menuju shopping behaviour yang baru,” ujar Country Sales Manager HP Indonesia Firmansyah Is Nursal.
Akankah best practice dan platform B2All yang diusung aCommerce sesuai dengan karakteristik pasar Indonesia, raksasa baru e-commerce global yang terletak di Asia Tenggara, dan mampu mendorong merek-merek yang menjadi kliennya tumbuh pesat di berbagai channel tersebut? Hadi optimistis akan sukses karena, kata dia, ini sudah seharusnya menjadi fokus mereka.**
—Intan Wulandari, TechnoBusiness Indonesia ● Foto-Foto: aCommerce
TokoTalk: “Kami Berangkat dari Layanan Berbasis Chatbot”
Go… Go… GoUli…
Shopee, E-commerce Paling Populer di Asia Tenggara
Hadi Kuncoro: E-commerce Perbanyak Barang Impor Itu Begini Hitung-Hitungannya…
E-commerce Indonesia Tumbuh di Atas Rata-Rata Global
E-commerce Melesat, Toko Offline Meredup
China jadi Pasar E-commerce Terbesar Dunia
Jet Commerce Ekspansi ke Vietnam dan Thailand
E-commerce Indonesia Punya Sejumlah Tantangan