Connect with us

Y&S Insights

Gap Industri Periklanan dan Pendidikan Tinggi di Indonesia

Published

on

Oleh Dicky Kurnia Darmawan | Konsultan Spire Research and Consulting

Spire Insight ● Jumlah Perguruan Tinggi yang memiliki fakultas dan departemen Ilmu Komunikasi selaras dengan jumlah Perguruan Tinggi yang memiliki bahan ajaran periklanan di Indonesia. Dewan Periklanan Indonesia (DPI) mencatat di Indonesia terdiri dari 211 Program Studi atau Fakultas Ilmu Komunikasi. Hampir 20% dari jumlah tersebut memiliki akreditasi A. Perlu diketahui bahwa pemberian akreditas disematkan oleh Badan Akreditas Nasional, yang menjadi kritik juga dari pihak DPI bahwa sangat implisit dari keterlibatan pemain industri periklanan dan komunitas. Menurut DPI keterlibatan pemain industri periklanan dan komunitas merupakan aspek penting dalam keberhasilan suatu intitusi pendidikan, karena nantinya menjadi agen penyerap lulusan dari Perguruan Tinggi tersebut.

Baca Juga: Spire Research and Consulting Memiliki Empat Divisi Riset

Regulasi menjadi aspek selanjutnya, perihal pengajar untuk Perguruan Tinggi. Namun, DPI melihat fenomena lain bahwa tenaga pengajar yang sudah ada di Perguruan Tinggi, khususnya Ilmu Komunikasi tidak dilatarbelakangi sebagai praktisi di dunia periklanan. Dalam keilmuan periklanan atau sisi akademisnya menjadi lebih dalam dibandingkan dengan kondisi faktual yang ada. Temuan ini tidak semata-mata hanya dalam asumsi semata, namun DPI melihat hasil tugas akhir akademis di dua Perguruan Tinggi Swasta yang hanya 15% – 31,5% pada judul skripsinya yang mengaitkan terminologi teknologi komunikasi.

Advertisement

Baca Juga: Kondisi Produk Aromatik Milik Industri Petrokimia Indonesia

Aspek lain yang menjadi bahan diskusi adalah dari sisi bahan kajian di dalam perguruan tinggi. Karena beragamnya fenomena periklanan dalam media-media baru yang belum mampu dijelaskan, diterangkan, dijadikan bahan pembelajaran secara kompergensif dalam perkuliahan. Menurut DPI metode dan bahan ajar pada bidang periklanan terbilang jalan di tempat, mereka lupa menyisipkan realitas dunia periklanan yang terus dan akan semakin berkembang pada kondisi sebenarnya.

Baca Juga: Efektivitas Iklan Menggunakan Media Lift 

Lebih dalam lagi melihat adanya kesenjangan yang terlihat antara pelaku-pelaku industri dan dunia Pendidikan yaitu para pelaku industri mengeksklusifkan diri dengan membentuk komunitasnya, hal yang samapun dilakukan oleh pergurutan tinggi. Dengan kesimpulan bahwa keduanya akan makin terasa berjauahan karena adanya egosentris dalam masing-masing komunitasnya.

 

Advertisement

[nextpage]

Hal tersebut tergambar sebagaimana aspek sebelumnya tentang tertinggalnya bahan ajaran dunia Pendidikan dengan industri periklanan yang makin hari terus berinovasi. Dicontohkan dengan bahan ajaran di perguruan tinggi masih membicarakan tentang “content analysis”, industri periklanan sudah menerapkan “content dynamic” dan “automation”.

Baca Juga: Menganalisis Nasib Industri Baja Nasional

RTS Masli berpendapat bahwa kini industri periklanan sudah mengarah pada konsentrasi untuk individu-individu tertentu saja, setelah sebelumnya menargetkan kelompok besar untuk dituju. Perubahan inilah yang memaksa komunikasi industri periklanan yang tadinya “macro moment” didesain ulang kembali untuk fokus pada individu yang mempunyai kebutuhan dan keinginan khas juga.

Advertisement

Menjadi hal yang mendasar diketahui bahwa percepatan teknologi yang terus dan semakin berkembang harus selaras denhan pengembangan ide kreatif dari para pelaku yang lebih luas, menarik, terarah, tepat, dan dalam eksekusinya harus taktis.

Baca Juga: Menganalisis Nasib Industri Baja Nasional

Menurut Jarvis, jika industri periklanan di Indonesia tidak bergegas kemungkinan yang akan diketahui adalah tumbangnya bisnis yang mengandalkan apa yang disebutnya “middleman” di era digital ini. Yang terburuk adalah imbas kepada perguruan tinggi yang memiliki ajaran Ilmu Komunikasi, selain para penggiat industri yang gaya bisnisnya tidak diperbaharukan dan masih menerapkan konvensional.

Berikut hal-hal yang menjadi kritik dalam Ilmu Komunikasi yang segera harus dibenahi menurut Dewan Periklanan Indonesia;

  • Penyeragaman kualifikasi pengajar berimbas pada kapasitas sumber.
  • Para pengajar tidak dari perpaduan background praktisi-akademis.
  • Pengulangan materi ajar dan keengganan dalam membaca literatur baru.
  • Penelitian berdasar pada ketertarikan dosen terhadap tema yang dikuasai yang berdampak pada hal-hal atau tema penelitian di luar minat dosen tersebut menjadi dikesampingkan.

Baca Juga: Instagram “Down”. Berapa yang Terimbas? 

Dari sisil lain kritik terhadap industri periklanan menurut Dewan Periklanan Indonesia;

Advertisement
  • Fokus industri pada arus modal ekonomi dan mengesampingkan pengembangan sumber daya manusia.
  • Industri mengesampingkan riset-riset terbarukan yang berasal dari sumber daya manusia yang mumpuni.
  • Industri melakukan bisnisnya dengan pola yang tetap.

Dalam data yang dihimpun oleh DPI menunjukan bahwa 55% organisasi mengalami yang mereka sebut sebagai “digital talent gap” yang semakin lebar. Dari sisi industri mengeluhkan para calon pekerja yang tidak memiliki keterampilan yang sedang dibutuhkan. Data dari Worldbank pada tahun 2017, pasar kerja membutuhkan kombinasi berbagai keterampilan yang berbeda-beda dari apa yang sudah dilakukan dan diberikan  oleh sistem Pendidikan tinggi selama ini.● SPONSORED CONTENT

Source: Buku “Ekosistem Now Periklanan: Platform Kurikulum – Perubahan dan Gagasan”.

Catatan: Artikel ini dibuat dan menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh Spire Research and Consulting. 

 

Spire Research and Consulting merupakan perusahaan riset pasar dan konsultasi bisnis global, terutama di negara-negara berkembang. Perusahaan yang didirikan pada 2000 di Singapura ini kini memiliki kantor perwakilan di semua negara Asia Pasifik dan berkantor pusat di Tokyo, Jepang.

PT Spire Indonesia | Wisma BNI Lt. 25 Unit 8-10, Jalan Jend. Sudirman Kav. 1, Jakarta 10220, Telp/Faks: (021) 57945800 www.spireresearch.com

 

Advertisement